Foto Babinsa

Analisis Kedaulatan Rakyat, Jumat, 13 Juni 2014

Oleh Lukas Ispandriarno

FOTO pelaku bakal jadi bukti ‘baru’ tindak kekerasan maupun pelanggaran tugas agar aparat bisa mengambil tindakan. Panglima TNI Jenderal Moeldoko mempersilakan masyarakat memotret anggota Babinsa yang melakukan pelanggaran dan melaporkan ke pimpinan. Sebelum itu, Wakapolda DIY  Kombes Pol Ahmad Dofiri  mengatakan, silakan foto pelaku kekerasan di Sleman  sebagai bukti.

Foto memang makin populer dan telah menjadi barang lumrah seiring  kecanggihan teknologi komunikasi dalam rupa telpon pintar. Warga dengan mudah memotret dirinya dan mengunggah di berbagai media sosial. Foto mulai  mengubah perilaku warga menjadi lebih terbuka, namun juga narsis, selfie. Berkat foto, komunikasi massa makin mudah, cepat, murah. Stasiun televisi atau koran  memanfaatkan warga memberikan informasi eksklusif disertai foto lalu menyebarluaskan kepada publik.

Usulan Panglima TNI dan WaKapolda DIY agar masyarakat memotret pelanggaran tugas  anggota bintara pembina desa (Babinsa) dan pelaku kekerasan boleh jadi diilhami fenomena kepopuleran dan kemudahan itu. Lalu kita membayangkan warga memotret aksi kekerasan  kelompok radikal yang melempari rumah yang dipakai ibadah. Semudah itukah? Jurnalis sudah terbiasa melakukan namun  warga biasa butuh keberanian, karena aksi kekerasan dilakukan tiba-tiba dan cepat, terutama dari perspektif korban. Boleh jadi  aksi sudah dirancang sekian lama oleh pelaku, otak dan sponsor. Selain itu,  tindak beringas  dilengkapi  pedang, batu, pentungan, bahkan alat setrum portabel yang sangat berbahaya. Sungguh butuh keberanian  mengambil foto perusuh.  Adakah warga yang berani  memotret Babinsa saat ia ‘didata’ pilihan politiknya?

Anjuran memotret bakal manjur bila  pimpinan TNI dan Polri menuangkannya dalam pengumuman berisi  anjuran memotret setiap pelanggaran  aparat militer maupun pelaku kekerasan. Pengumuman disiarkan berulang-ulang selama beberapa hari di  televisi, radio, koran, dan internet. Namun institusi TNI harus menyediakan alamat di mana foto-foto itu bisa dikirim tanpa syarat berbelit-belit. Lebih dari itu, pengirim foto  harus dilindungi sehingga tidak menjadi korban karena  dituduh mencemarkan nama baik individu, korps atau lembaga.

Tentu ini sebuah era baru keterbukaan lembaga militer dan kepolisian  sehingga masyarakat aktif mengirim foto bila syarat perlindungan saksi dijamin. Semoga media massa tidak kehilangan  peluang  mendapatkan berita eksklusif karena kalah  bersaing dengan ribuan  warga yang tersebar di banyak tempat. Walau demikian pengalaman membuktikan, misalnya dalam peristiwa kekerasan di Tunjungsari,  Sleman,  seorang jurnalis dianiaya perusuh saat meliput. Contoh lain, jurnalis  dipukuli aparat, kameranya dirampas, ketika  hendak memotret pesawat militer yang  jatuh.

Kini tindakan  amat segera dibutuhkan  karena  berbagai peristiwa kekerasan terhadap kelompok minoritas  di Sleman, Gunungkidul,  kota Yogyakarta, dan berbagai tempat di Indonesia amat jarang ditangani secara profesional. Segudang alasan dikemukakan pimpinan kepolisian untuk mengatakan pelaku tidak dapat diproses secara hukum, diadili dan dihukum. Berbagai alasan itu menggambarkan kepolisian sangat lemah, berada di bawah bayang-bayang pengaruh pelaku. Demikian halnya  tindakan tegas atas  penyelewengan anggota  Babinsa yang melakukan survei politik. Kepala Seksi Intelijen Kodim 0501 Jakarta Pusat Kapten Infanteri Tatang Supardi menyebutnya pendataan untuk mengidentifikasi wilayah-wilayah dengan preferensi suara terhadap parpol atau kandidat tertentu.

Tindakan pimpinan TNI memberi sanksi kepada sejumlah anggota Babinsa Kodim Jakarta Pusat patut kita hargai dengan harapan pelanggaran itu tidak lagi terjadi. Selain itu, perlu dicermati pernyataan berulang-ulang yang  menyebut pelaku adalah oknum karena mereka anggota kesatuan. Sebutan oknum menjadi kebiasaan di era Orde Baru  sebagai eufemisme sekaligus pengkambinghitaman dan upaya lempar tanggungjawab.

Masa kampanye yang riuh di masyarakat, di media masa dan terutama di media sosial selayaknya dicermati sebagai sebuah dinamika politik, pertarungan ide, gagasan, pendapat, strategi. Dinamika itu tidak pantas dirancang, diseret-seret dan ditingkahi  berbagai kekerasan. Pilpres sama sekali bukan perang fisik, adu pedang melawan tubuh, maupun sentuhan alat setrum portabel dan intimidasi. Pemilihan presiden adalah peristiwa politik biasa yang meski disikapi dengan kedewasaan, kematangan, dan kebijaksanaan para pemimpin, pejabat pemerintah,  tokoh masyarakat. Kita hargai beragam kreativitas bernuansa kegembiraan  masyarakat, orang muda, kaum perempuan dan rakyat jelata dengan  menjunjung tinggi etika bermasyarakat dan bermedia.

Lukas S Ispandriarno
penulis adalah Dosen FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Search

Pengumuman