Bernas Jogja, Selasa 10 Juni 2014
Oleh Yohanes Widodo
Pilpres 9 Juli 2014 membuat masyarakat terpolarisasi. Pertentangan kedua kubu begitu sengit, khususnya di ranah Internet. Masing-masing kubu didukung oleh ‘pasukan media sosial’ yang siap bertarung. Praktik tweet-war, perang ‘meme’ maupun komentar-komentar yang mem-bully—menjelekkan atau menjatuhkan—lawan mewarnai situasi perang itu.
Kehadiran media sosial dalam konteks pemilihan presiden kali ini menjadi penting karena saat inilah puncak penggunaan media sosial dalam peristiwa Pemilu. Kaum cyber-optimist melihat Internet adalah democratic space yang bisa membuka ruang demokrasi partisipatoris. Internet mampu (1) menyediakan ruang dan waktu bagi publik untuk berkomunikasi tanpa batas (space-time liberty), (2) menyebarluaskan berita, informasi, maupun gagasan secara mandiri (sharing liberty), serta (3) membuka akses bagi orang-orang dengan keterbatasan ekonomi (access liberty) (Unwin, 2000).
Sebaliknya, kaum cyber-pessimist melihat ‘the dark side‘: Internet bisa ‘menggembosi’ demokrasi. Ini terkait penggunaan Internet secara negatif atau untuk tujuan negatif, antara lain untuk menyerang atau ‘mem-bully’ lawan, menyebarkan fitnah, menyerang reputasi seseorang, menyebarkan sikap permusuhan, dan lain-lain.
Cyberbullying
Di Internet dan media sosial, kita bisa menemukan meme berupa foto/gambar/komik mengenai capres maupun cawapres yang ditambahi tulisan atau dimodifikasi dengan menambahkan talking bubble. Meme atau gambar seperti itu bisa jadi untuk sekadar lucu-lucuan atau memang ditujukan untuk menjatuhkan atau merusak reputasi capres atau cawapres tertentu (smear campaign). Tak sedikit dari kita kemudian menyebarluaskannya secara viral melalui media sosial, akun BBM, dan lain-lain. Ketika kita melakukannya, secara tak sadar kita sudah berada dalam lingkaran bernama cyberbullying.
Dibandingkan bullying, istilah cyberbullying mungkin belum terlalu sering terdengar di telinga kita. Bullying seringkali diidentikkan dengan perilaku siswa-siswi di sekolah yang melakukan tindakan kekerasan kepada siswa-siswi lain. Bullying biasanya dilakukan oleh pihak yang memiliki ‘status’ lebih tinggi kepada mereka yang ‘statusnya’ lebih rendah (Ardhiati, 2014).
Cyberbullying—juga dikenal sebagai Bullying 2.0 atau kekejaman sosial secara online—adalah tindakan bullying dengan medium Internet (e-mail, pesan singkat, chat room, Web site, situs game online, pesan digital) atau gambar-gambar yang dikirimkan melalui telepon seluler (Kowalski, Limber, & Agatston, 2012). Di ranah politik, juga dikenal istilah political cyberbully.
Nancy Willard, seorang pengacara yang sekaligus merupakan Direktur dari Center for Safe and Responsible Internet Use di Amerika (Ardhiati, 2014) mengategorikan sembilan perilaku yang tergolong sebagai cyberbullying, yaitu: (1) Flaming yakni celaan, cercaan, atau hinaan kepada satu sama lain. Misalnya, twitwar di Twitter. (2) Harassment yakni kata-kata atau tindakan yang bersifat memalukan, melecehkan, bahkan kadang membahayakan. Misalnya, menciptakan akun palsu yang anonim, kemudian membombardir pemilik akun yang menjadi sasaran dengan kalimat-kalimat atau ilustrasi yang menghina, menggunakan akun tersebut, misalnya.
(3) Denigration yakni informasi mengenai seseorang yang bersifat menghina dan tidak benar atau tidak sesuai dengan keadaan nyatanya. Informasi ini bisa dipampangkan di website, atau disebarkan kepada orang lain melalui e-mail, instant messaging, dan media-media lainnya. (4) Impersonation yakni ‘mencuri’ atau ‘membajak’ akun milik seseorang dan menyampaikan informasi-informasi yang tidak benar. (5) Outing and Trickery yakni membujuk seseorang untuk membagikan informasi mengenai diri mereka yang sifatnya pribadi, kemudian menyebarluaskan informasi itu kepada pihak lain secara luas.
(6) Exclusion/Ostracism yakni tindakan meng-unfriend, unshared, atau memutuskan hubungan dari media (sosial), di mana awalnya kedua pihak ini saling berhubungan/berteman. (7) Cyberstalking yakni tindakan menguntit seseorang secara berulang dan melakukan komunikasi yang bersifat mengganggu dan mengancam, khususnya jika disertai dengan niatan untuk menakuti bahwa akan terjadi hal-hal yang membahayakan dirinya atau orang-orang lain di sekelilingnya. (8) Video Recording of Assaults/Happy Slapping and Hopping yakni merekam perilaku seseorang yang bersifat memalukan dan mengunggahnya ke internet sehingga memungkinkan banyak pihak untuk dapat menonton dan mengomentari video tersebut. (9) Sexting yakni mengirimkan atau mem-posting foto atau video telanjang atau setengah telanjang kepada seseorang, yang bertujuan untuk mengganggu atau mempermalukannya.
Sejumlah penelitian membuktikan bahwa para korban akan merasa rendah diri, mengalami kecemasan sosial, konsentrasi yang menurun, perasaan terasing, bahkan pada tahap yang ekstrem, dapat mengakibatkan depresi dan (keinginan) bunuh diri (Ardhiati, 2014). Salah satu kasus yang mencuat di Jogja adalah berita kematian tragis Yoga Cahyadi alias Bobby Kebo, 23 Mei 2013. Yang menjadi highlight adalah caci-maki di media sosial yang membuat Kebo memutuskan untuk bunuh diri (http://killtheblog.com/2013/05/29).
Problem dan Pendekatan
Mengapa praktik cyberbullying kian merajalela di masa kampanye Pilpres 2014 ini? Radhar Pancana Dahana dalam tulisannya di Kompas (25/03/2006) menyatakan, tampaknya kekerasan adalah bagian tak terpisahkan dari hidup kita. Radhar juga menulis, yang terjadi adalah sebuah proses internalisasi kekerasan, fisik dan psikis, virtual dan imajinatif, ke dalam diri anak-anak kita secara intens hampir tiada henti (Kompas, 30/05/2014). Dengan demikian, fenomena cyberbullying bisa jadi merupakan perpanjangan dari bullying secara offline.
Kedua, dampak media terutama televisi yang cenderung menampilkan pemberitaan pilpres yang bernada permusuhan, argumentarif, dan agresif. Di era Web 2.0 dan budaya partisipatif ini, tak heran jika masyarakat umum merasa perlu terlibat dalam perilaku tersebut. Ini didukung dengan karakteristik Internet yang memungkinkan pelaku tampil secara anonim, sehingga mereka bisa aman dan merasa bebas dari jerat hukum ketika melakukan praktik cyberbullying.
Ketiga, menurut Hardaker (2010), manusia cenderung mencari hiburan dalam konflik, misalnya dalam bentuk olah raga berisiko, film action, games computer, atau agresivitas bahasa melalui program televisi. Jika selama ini mereka hanya melihat simulasi kekerasan atau konflik maka dengan proteksi anonimitas, pengguna Internet dapat menyerang orang lain secara nyata dengan risiko kecil. Dengan kondisi itu maka perilaku negatif dan cyberbullying mendapatkan tempatnya. Ketika melihat konflik politik di media, mereka cenderung berpartisipasi.
Untuk mengatasi fenomena cyberbullying, dibutuhkan sebuah pendekatan budaya yakni bagaimana membangun interaksi antarwarga—secara face-to-face maupun online—bisa dilakukan secara beradab, cerdas, dan arif. Semua pihak secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama harus ambil bagian dalam gerakan ini. Dalam konteks pilpres inilah, kecerdasan, keadaban dan kearifan penggunaan media sosial oleh publik diuji.
Media sosial adalah medium yang baik untuk mempromosikan komunikasi yang baik dan konstruktif. Tantangan bagi pengguna media sosial—yakni mereka kaum kelas menengah yang memiliki pengaruh sosial yang kuat—adalah bagaimana membangun perilaku yang baik di ranah Internet dan media sosial.
Capres, cawapres, dan politisi harus mengambil peran utama dalam hal ini. Jika tidak, jangan menyesal jika suatu saat Internet dan media sosial menggembosi dan menggerogoti demokrasi kita.
* Yohanes Widodo, dosen FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta.