Emansipasi dan Buruh Perempuan

Bernas Jogja, Selasa 23 April 2013

Oleh E. Imma Indra Dewi W

Dua puluh satu April telah berlalu. Hari itu biasa disebut hari Kartini, hari yang sangat bersejarah bagi kaum perempuan di Indonesia. Diawali dengan lahirnya seorang perempuan anak dari salah satu keluarga bangsawan di Jawa Tengah yang akhirnya menjadi pejuang kaumnya. Gadis kecil itu diberi nama Kartini dengan gelar kebangsawanan Raden Ajeng. Tak hanya itu yang membedakan Kartini dengan perempuan lain pada masanya. Keberaniannya menentang adat yang membelenggu perempuan Jawa khususnya dan Hindia Belanda pada waktu itu merupakan prestasi yang sangat luar biasa. Memang RA Kartini didukung oleh kekuasaan ayahnya dan suaminya. Tapi jika Kartini secara pribadi tidak berpikiran maju dan memiliki keberanian maka tidak akan terjadi ada hari bersejarah pada 21 April.

Perjuangan RA Kartini akhirnya dinikmati oleh sebagian besar perempuan pada masa sekarang yang dikenal dengan emansipasi wanita. Di satu sisi cita-citanya tentang emansipasi wanita bertujuan baik, yaitu untuk kemajuan perempuan dalam mengembangkan diri dan mengaktualisasikan diri di berbagai bidang. Namun kadang budaya paternal mengerdilkan arti emansipasi wanita. Seperti misalnya nasib buruh perempuan. Masih banyak diskriminasi atau pelecehan terjadi atas buruh perempuan. Secara hukum di Indonesia tak ada diskiriminasi antara buruh laki-laki dengan perempuan. Tapi dalam pelaksanaannya diskriminasi  dilestarikan oleh pengambil kebijakan bahkan pengambil kebijakan yang berjenis kelamin perempuan.

Nasib buruh perempuan

Sebagai contoh dalam pengambilan kebijakan pembayaran upah bagi buruh perempuan. Ketika dilakukan survei pada beberapa perusahaan percetakan yang sudah cukup ternama di Indonesia, baik di DIY maupun kota besar lainnya, terdapat diskriminasi dalam kebijakan pengupahan antara buruh perempuan dengan laki-laki yang sudah menikah. Buruh laki-laki yang sudah menikah mendapat tunjangan istri dan anak, sementara buruh perempuan yang sudah menikah tidak mendapatkan tunjangan suami dan anak. Alasannya karena perempuan bukan berkedudukan sebagai kepala rumah tangga. Pertanyaannya bagaimana jika buruh perempuan itu merupakan satu-satunya pencari nafkah dalam keluarga? Artinya dia tulang punggung bagi suami dan anak-anaknya? Memang di beberapa perusahaan percetakan tersebut memberikan tunjangan suami bagi buruh perempuan, tetapi pelaksanaannya tidak secara otomatis seperti pada buruh laki-laki yang sudah menikah. Buruh perempuan itu harus mengajukan surat permohonan terlebih dahulu. Jika tidak mengajukan maka hak tersebut tidak akan didapatnya.

Selain diskriminasi, pelecehan terhadap buruh perempuan juga sering dialami. Komnas Perempuan mencatat pada 2012 terdapat 216.156 kasus kekerasan seksual, yang dialami buruh perempuan sebanyak 2.521. Catatan ini didasarkan  laporan buruh perempuan yang mengalami pelecehan yang  biasa terjadi di pabrik dengan ancaman tidak diperpanjang kontraknya. “Biasanya buruh diperkosa dengan ancaman tidak akan diperpanjang kontraknya. Ini sudah biasa dilakukan di pabrik di Jakarta Utara,” ujar Jumingsih di kantor Kontras,  Jumat (19/4). Selain itu adanya sistem kerja shift di pabrik bagi buruh perempuan juga menimbulkan dilema tersendiri. Sistem kerja shift  biasa dibagi menjadi 3, pagi, siang, dan malam. Buruh perempuan yang mendapat shift malam juga rentan menjadi korban pelecehan seksual. “Pada saat pulang lebih dari pukul 22.00, kami tidak disediakan transportasi yang aman sehingga pas pulang kena pemerkosaan,” kata Jumingsih. Para buruh perempuan ini sebenarnya telah melaporkan pelecehan tersebut kepada polisi. Akan tetapi, masih banyak kasus tidak diselesaikan oleh  kepolisian.

Di bagian lain berdasarkan data Disnakertrans Kota Sukoharjo, total jumlah buruh yang terlapor di tahun 2012 sebanyak 64.642 orang. Dari jumlah tersebut sebanyak 42.635 orang tercatat sebagai buruh perempuan atau 65,9% sementara sisanya buruh laki-laki. Mereka kebanyakan bekerja di perusahaan tekstil. Salah seorang pengurus SPN menjelaskan, pihaknya menengarai perlindungan perusahaan kepada para buruh perempuan sangat minim. Di antaranya terkait jam lembur maupun antarjemput buruh perempuan di malam hari. Jam kerja lembur bagi buruh perempuan di Kota Sukoharjo rata-rata melebihi tiga jam. Sementara fasilitas antar jemput bagi buruh perempuan yang bekerja malam hari hampir tidak ada.

Ketentuan hukum

Berkaitan dengan adanya diskriminasi upah, dalam undang-undang ketenagakerjaan, UU No 13 Tahun 2003, tidak ada aturan yang membedakan pemberian upah antara buruh perempuan dengan laki-laki. Undang-undang hanya mengatur bahwa setiap pekerja berhak atas upah yang layak bagi kemanusiaan. Kata setiap manusia berarti menunjuk pada buruh laki-laki maupun perempuan tanpa diskriminasi karena undang-undang juga melarang  diskriminasi dalam bentuk apapun terhadap para buruh. Selain bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan, adanya segala macam diskriminasi, termasuk diskriminasi terhadap buruh perempuan juga bertentangan dengan hak asasi manusia.

Sementara berkaitan dengan jam kerja lembur dan antar jemput buruh perempuan pada malam hari, undang-undang telah memberikan perlindungan yang cukup baik. Jam kerja lembur ditetapkan dalam satu minggu maksimal 14  jam sementara dalam satu hari maksimal lembur tiga jam. Jika dilaksanakan melebihi ketentuan harus ada ijin dan pelaksanaannya dilaporkan pada instansi yang terkait. Demikian pula untuk jam kerja lembur harus dilaksanakan atas perintah tertulis dari pengusaha dan ada kesepakatan dari pekerja. Jika dilanggar akan ada konsekuensi yang diterima oleh perusahaan.

Tentang antar jemput buruh perempuan pada malam hari, menurut undang-undang ketentuan ini bersifat wajib bagi perusahaan. Alasan penyediaan transportasi bagi buruh perempuan yang bekerja pada malam hari adalah demi keselamatan dan kesusilaannya. Sehingga apabila ketentuan ini benar-benar dilaksanakan kasus pelecehan seksual di luar perusahaan seperti terjadi di Jakarta dapat diminimalisir. Namun kenyataannya banyak perusahaan yang tidak menyediakan dan tidak mendapat sanksi apapun sebagai konsekuensinya. Alasan perusahaan tidak menyediakan karena biasanya buruh termasuk buruh perempuan lebih suka digantikan dengan tunjangan transport dalam bentuk uang.

Bagaimana dengan pelecehan seksual yang dilakukan oleh rekan kerja laki-laki  ataupun atasan laki-laki di pabrik-pabrik dengan alasan agar kontrak diperpanjang? Perpanjangan kontrak sebenarnya  diatur dalam undang-undang. Syarat-syaratnya pun telah jelas diberikan  dan pelecehan seksual bukanlah merupakan salah satu syarat perpanjangan kontrak. Jadi pelecehan seksual sebagai syarat perpanjangan kontrak sama sekali bertentangan dengan undang-undang,  karena merupakan perbuatan pidana yang dapat dituntut di muka pengadilan.

Bagian emansipasi wanita

Dari uraian di atas nampak jelas bahwa sebenarnya aturan hukum telah dibuat sedemikian rupa sehingga melindungi hak-hak buruh perempuan. Aturan hukum telah mendukung pelaksanaan emansipasi wanita bagi buruh perempuan. Permasalahannya pelaksanaannya belum sesuai ketentuan hukum yang ada. Selain itu penegakan hukum juga masih lemah dan ini terjadi di antaranya karena penghargaan terhadap profesi perempuan sebagai buruh masih termarjinalkan akibat budaya paternal dalam masyarakat yang masih kuat. Karenanya perlu ada perubahan mindset terhadap profesi perempuan sebagai buruh. Profesi perempuan sebagai buruh sama dan sederajat dengan profesi lainnya. Profesi ini juga bagian dari cita-cita mulia Kartini yang telah memperjuangkan emansipasi wanita. Dengan demikian profesi perempuan sebagai buruh juga perlu mendapatkan penghargaan yang tinggi dari masyarakat.

 

*E. Imma Indra Dewi W., SH., M.Hum, Dosen Fakultas Hukum UAJY

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Search

Pengumuman