Oleh Yohanes Widodo
Bernas Jogja, 10 Januari 2012
Teknologi informasi dan komunikasi, khususnya Internet, selama ini identik dengan kalangan menengah atas dan didominasi orang-orang kaya/masyarakat kota. Namun, kini teknologi informasi dan komunikasi mulai bergeser ke kampung-kampung. Internet pun kini mulai masuk ke kalangan menengah ke bawah dan warga desa.
Ini berkat inisiasi dan inovasi yang dilakukan oleh pemerintah, LSM, dan komunitas sipil melalui kebijakan, program, gerakan, maupun kegiatan semacam Kampung Digital, Kampung Siber, atau Sistem Informasi Desa. Warga diberi akses, kemudahan, dan fasilitas agar warga mampu memanfaatkan teknologi informasi. Pemerintah desa juga diharapkan mampu meningkatkan pelayanan yang lebih baik dan efektif.
Sejumlah pemerintah daerah bahkan mencanangkan program ini secara serius. Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), misalnya, mengupayakan terbentuknya 10 kampung media atau kampung digital di berbagai lokasi strategis dalam tahun anggaran 2011. Program ini didukung alokasi anggaran sebesar Rp 1,7 miliar pertahun (Kompas.com, 9/01/2011).
Sebelumnya, tahun 2006, komunitas Internet e-Kebumen.net di Kebumen, Jawa Tengah, telah menjadikan Internet menyebar ke banyak sekolah dan warnet. Inisiatif ini menjadikan kabupaten Kebupaten sebagai finalis ajang Stockholm Challenge Award 2006 (Tempo, 15/05/2006). Di tempat lain, ada Kampung Digital Terang Bulan, sebuah kampung kecil di Deli Serdang, Sumatera Utara.
Success Story
Di Yogyakarta, ada beberapa komunitas yang menyebut dirinya kampung digital atau kampung cyber. Misalnya, RW 12 Keparakan dan RT 36 Taman Patehan Yogyakarta. Untuk menjembatani komunikasi antarwarga dan mewujudkan akuntabilitas/transparansi, warga RW 12 Kelurahan Keparakan memanfaatkan media blog. Sementara warga RT 36 Taman Kelurahan Patehan, dimotori oleh para pengurusnya yang menyebut diri Laskar Taman, memanfaatkan Internet untuk membangun komunikasi antarwarga dan pengurusnya (Ismawati Retno, 2011).
Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi berbasis Internet dan Radio Komunitas Lintas Merapi juga dikembangkan oleh warga Deles, Klaten. Di sana, kebutuhan warga akan informasi dunia luar sangat tinggi, antara lain untuk mencari bibit pertanian. Untuk mendukung program ‘Mari Tanam Air’, mereka menuliskan program dan kebutuhan mereka di blog. Gagasan blog tersebut kemudian diakses oleh warga Deles yang tinggal di Jepang. Mereka pun mendapatkan kiriman uang 43 ribu yen untuk mendukung program mereka (Mart Widarto, 2011).
Sementara itu, Pemerintah Desa Terong, Kecamatan Dlingo, Bantul menerapkan program Sistem Informasi Desa (SID). Inovasi ini muncul secara tak sengaja. Awalnya terjadi gempa bumi di Yogyakarta (2006). Gempa ini menyebabkan lemari data milik desa roboh sehingga data-data desa pun rusak. Dari situ mereka bermimpi memiliki sistem barcode model minimarket untuk mengefektifkan pelayanan kepada masyarakat.
Ide, mimpi, kebutuhan, atau keinginan ini kemudian diartikulasikan oleh Combine Resource Institution (CRI) dalam sistem informasi desa dan mengonlinekan data tersebut melalui website http://www.terong-bantul.web.id. Kini, masyarakat Desa Terong dapat merasakan manfaat sistem ini, yakni efektivitas dalam proses surat-menyurat. Ketika warga meminta surat, dalam waktu sekitar lima menit surat sudah bisa diperoleh.
Manfaat SID
Selain mendukung efektivitas dalam pelayanan dan administrasi surat-menyurat, SID ala Desa Terong juga punya beberapa manfaat lain. Pertama, mendukung proses demokrasi di tingkat lokal, keterbukaan informasi, dan transparansi dalam keuangan. Dengan SMS, warga bisa mengirimkan keluhan atau masukan tentang pelayanan pemerintah desa atau masalah lain. Keluhan warga yang masuk langsung muncul dalam bentuk running text di komputer semua Kepala Bagian Pemerintah Desa Terong. Dengan sistem ini, masyarakat desa yang biasanya ewuh pakewuh untuk menyampaikan kritik, keluhan, atau masukan bisa diatasi dengan media SMS (Mart Widarto, 2011).
Kedua, mendukung gerakan anti korupsi. Korupsi di tingkat desa antara lain terjadi pada program bantuan berbasis data keluarga miskin. Masalahnya, data tersebut nyaris tidak bisa diakses oleh warga desa karena tersimpan di kantor desa. Jika data tersebut bisa diakses oleh warga secara online, maka warga bisa melakukan pengawasan terhadap kasus-kasus korupsi.
Ketiga, memungkinkan terjadinya pertukaran sumber daya desa yang bermanfaat untuk peningkatan ekonomi. Misalnya, di komunitas A ada bahan baku kerajinan, tapi tidak ada orang yang ahli untuk mengolah. Sementara di komunitas B ada banyak orang yang ahli, tapi tidak punya bahan bakunya. Jika dua komunitas ini saling mengetahui, tinggal di balik saja: apakah oarang dari komunitas B yang datang atau orang dari komunitas A yang mengirim bahan baku. Ketika keduanya melakukan pertukaran, maka akan saling menguatkan. Agar mereka memahami apa potensinya, apa kebutuhannya, maka menjadi penting untuk berkomunikasi (Achmad Nasir, 2008).
Keempat, menjadi bahan musyawarah rencana pembangunan desa (Musrenbangdes). SID bisa dijadikan data dasar (basis data) untuk pengambilan keputusan/kebijakan. Data yang ada di sistem kemudian diolah dan dianalisis menjadi informasi. Informasi ini menjadi bahan diskusi dan diambil keputusan menjadi kebijakan.
Misalnya, analisis kerentanan resiko bencana. Ada data mengenai warga yang tinggal di daerah rawan longsor atau ada dusun yang resiko bencananya tinggi. Informasi ini diolah, mana saja titik-titik yang rawan longsor, dan apa rencana aksi desa untuk perencanaan penanggulangan bencana. Contoh lain, ada warga yang tidak sekolah. Dengan membaca sistem, kita bisa melihat tingkat putus sekolah. Dari sini pemerintah desa bisa menentukan skema untuk mereka. Dengan SID, Musrembangdes tidak lagi copy paste karena dilakukan dengan membaca data yang ada di sistem.
Kendala
Kenyataannya tidak semua gerakan atau program untuk menginisiasi pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi atau Internet bisa berhasil. Misalnya, di daerah Bantul pernah dibangun instalasi internet dengan konsep RT/RWnet oleh sebuah universitas. Namun, instalasi itu terbengkalai dan tidak digunakan masyarakat. Beberapa tempat diberi akses Internet dan dipasang antena, tapi mangkrak (Mart Widarto, 2011).
Ada beberapa faktor penting penyebab kegagalan itu. Pertama, mereka tidak memulai dari kebutuhan masyarakat. Ini biasanya terjadi pada proyek yang dilakukan tanpa analisis dan studi kelayakan. Mereka hanya memberikan atau menyediakan perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software) namun tidak didukung oleh pelatihan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan (brainware) dan menyiapkan institusi, lembaga, atau organisasi (orgware) untuk menjamin keberlanjutan program. Karena itu, pada tahapan pra inisiasi dan instalasi teknologi, kita perlu melihat dan menganalisis kebutuhan masyarakat dan bagaimana agar teknologi tersebut bisa dimanfaatkan secara berkelanjutan.
Kedua, tidak ada tokoh-tokoh kunci yang mengikat. Di banyak komunitas, fungsi tokoh-tokoh tersebut memegang peran penting. Misalnya, di Deles ada Sukiman; di Terong ada Kepala Desa Sudirman; di Taman ada Ketua RT A. Heri Sutanto. Peran opinion leader sangat penting sebab warga belum belum bisa mandiri menggunakan Internet sehingga harus ada operator dan inisiator. Orang-orang kunci itulah yang menggerakkan atau menjadi penghubung. Jika tidak ada inisiator, alat hanya sekadar menjadi alat.
Ketiga, tidak ada literasi media. Teknologi hanya bermanfaat jika pengguna memiliki kemampuan literasi. Karena itu, pengadaan teknologi perlu didukung dengan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan/keterampilan/literasi agar masyarakat mampu menggunakan teknologi secara produktif. Jangan sampai justru sebaliknya: keberadaan komputer atau Internet justru membuat masyarakat kian konsumtif.
Untuk mewujudkan hal itu perlu dukungan, partisipasi, dan kerjasama banyak pihak. Salah satunya dari kampus yang memiliki SDM dan kepakaran, terutama di bidang Informatika dan Komunikasi. Jurusan Informatika bisa berpartisipasi membangun dan mengembangkan Sistem Informasi Desa (SID), sementara jurusan Ilmu Komunikasi bisa membantu melakukan analisis data menjadi informasi yang bermanfaat. Kolaborasi semacam itu dimungkinkan, salah satunya untuk memecahkan persoalan teknis dan analisis data.***
Yohanes Widodo, dosen Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta.