Bernas Jogja, Selasa, 24 April 2012
Oleh Dina Listiorini
Bayangkan saat RA Kartini melakukan korespondensi dengan kawan penanya Rosa Abendanon, Stella Zeehandelaar dan menulis surat kepada J.H. Abendanon untuk beasiswa bersekolah di Belanda. Surat itu akan sampai ke Belanda dalam hitungan minggu dan balasan akan sampai di tangan Kartini sekian minggu atau bahkan bulan berikutnya.
Surat-surat tersebut dibawa dengan kapal laut melintasi benua. Belum termasuk variabel bahwa pengantar suratnya mungkin terjebak salju di Belanda sana, atau pak pos pengantar surat di Jepara sedang sakit. Mari kita bayangkan pula sarana transportasi dan komunikasi yang baru berkembang di Belanda dan Indonesia sebagai negara jajahan Belanda pada abad 19. Hal tersebut tidak mematahkan semangat dan jiwa Kartini yang haus akan ilmu pengetahuan. Ia membaca berbagai buku dalam bahasa Belanda termasuk karangan penulis feminis Eropa seperti Goekoop de-Jong Van Beek.
Pikiran nakal saya membayangkan apa yang terjadi bila Kartini mendapatkan beasiswanya dan pergi ke Belanda. Mungkin ia akan menjadi salah satu filsuf feminis terkemuka dari Asia dan bukan tidak mungkin menjadi salah satu motor gerakan partai komunis radikal di Indonesia! Tak perlu merasa tersinggung atau terhina. Pikiran-pikiran Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya untuk perempuan di masanya (akhir abad 19) adalah sangat radikal. Ia mendiskusikan banyak hal. Mulai dari pentingnya belajar bahasa, soal sistem kekuasaan dan upah buruh, sampai masalah agama.
Keputusan Kartini untuk menikah dengan Bupati Rembang Joyodiningrat yang sebelumnya telah memiliki 3 istri memang membuat kontroversi dimana-mana. Sebagian besar menyayangkan keputusan Kartini tersebut, termasuk saya. Namun agak berbeda, saya membayangkan bahwa pernikahannya adalah bagian dari negosiasi dari perjuangannya dalam mendidik perempuan-perempuan Jawa di sekitarnya. Saya bayangkan Kartini bernegosiasi dengan bahasa Belanda pada suaminya seperti ini: “Baik, aku tak keberatan melepaskan beasiswaku ke Belanda dan menikah denganmu. Tapi aku minta kebebasan mengajar, mendidik dan menyebarluaskan pengetahuan yang kumiliki. Dukung semua keputusanku tentang hal ini tanpa syarat dan pertanyaan; dan tolong, biayai semua pengeluaranku untuk semua itu termasuk mendirikan berbagai sekolah di berbagai daerah yang kuinginkan.”
Saya berpikir bahwa Kartini bukan perempuan yang begitu saja “menyerah tanpa syarat”. Fakta bahwa ia “hanya bisa berbicara” melalui surat, itulah satu-satunya akses yang bisa didapatnya. Orang seakan melupakan fakta bahwa setelah beliau wafat dan surat-suratnya diterbitkan sebagai buku pertama kali tahun 1911 di Hague, Belanda dalam bahasa Belanda dengan judul “Door Duisternis tot Licht”, hal tersebut menginspirasi banyak orang termasuk Van Deventer yang kemudian mendirikan sekolah untuk perempuan di Jawa sebagai bagian dari politik Etis (politik balas budi). Di Belanda pada 1907 bahkan didirikan Kartini Foundation yang mendanai pembangunan sekolah bagi perempuan di beberapa daerah di Jawa seperti Malang, Cirebon, Bogor, Surabaya, Semarang, Surakarta dan Jakarta (Kata Pengantar Agnes Louise Symmers pada edisi bahasa Inggris tahun 1921).
Berjuang Melalui Dunia Maya
Indonesia tercatat menempati nomor 4 terbesar di dunia setelah Amerika Serikat, India dan Brasil sebagai pengguna jejaring sosial Facebook versi socialbakers.com dan nomor 2 setelah Amerika Serikat versi The Guardian melalui edisi onlinenya di tahun yang sama. Empatpuluh satu persen pengguna Facebook di Indonesia adalah perempuan di usia produktif (18-34 tahun). Demikian pula dengan Twitter. Saat ini Indonesia menjadi pengguna nomor 5 terbesar di dunia. Apakah hal ini menjadi hal yang menggembirakan setelah 100 tahun diterbitkannya surat-surat Kartini? Apa pula dampaknya bagi perempuan di Indonesia?
Berjuang melalui dunia maya menjadi tren bagi banyak kelompok termasuk kelompok perempuan. Kasus Prita yang dituntut sebesar 204 juta rupiah karena dianggap mencemarkan nama baik sebuah rumah sakit di Jakarta membuahkan perlawanan melalui dunia maya dengan kampanye “Koin untuk Prita”. Prita akhirnya dibebaskan dan dinyatakan tidak bersalah. Cukup banyak LSM yang memperjuangkan hak-hak perempuan ataupun kelompok yang dianggap minoritas seperti lesbian, waria, buruh migran perempuan maupun pekerja rumah tangga perempuan tidak hanya memiliki sebuah situs tentang profil dan kerja mereka, namun juga memiliki akun di berbagai jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter.
Hal yang sama juga dilakukan oleh kementrian ataupun berbagai komisi yang dibentuk oleh negara seperti Kementrian Pemberdayaan Perempuan, Komnas Perempuan atau Komisi Penanggulangan AIDS yang tersebar di berbagai provinsi di Indonesia. Lembaga-lembaga tersebut tidak hanya memiliki situs lembaga, namun juga akun di jaringan sosial popular seperti Facebook dan Twitter.
Yayasan Jurnal Perempuan (YJP), sebuah organisasi yang peduli dengan persoalan perempuan dan melakukan kampanyenya melalui terbitan sebuah majalah bernama Jurnal Perempuan. Selain terbitan fisik majalah, Jurnal Perempuan juga memiliki situs online serta akun di Facebook dengan nama Sahabat Jurnal Perempuan dan Perpustakaan Jurnal Perempuan. YJP juga memiliki group di Facebook dengan nama Jurnal Perempuan beranggotakan hampir 3000 orang. Mereka juga memiliki akun di Twitter dengan akun @jurnalperempuan dan memposting cerita aktual mengenai perempuan. Demikian pula dengan sebuah organisasi LGBT bernama Institute Ardhanari yang memperjuangkan hak-hak perempuan lesbian.
Agaknya melakukan kampanye melalui dunia cyber dianggap cukup menguntungkan bagi banyak LSM. Pertama dan terpenting adalah karena murah, cepat dan mudah diakses. Apalagi dengan adanya generasi Smartphone seperti BB alias Blackberry yang bisa mengakses internet. Perlu diketahui juga bahwa terdapat sekitar 5 juta pengguna BB di Indonesia seperti dilansir The Australians. Tentu saja ini menjadi signifikan bila mempertimbangkan bahwa gerakan sosial perempuan dapat dilakukan dengan mudah dan mampu meraih jumlah yang cukup banyak. Seorang aktivis perempuan bercerita bahwa ia mengorganisir aksi buruh di berbagai kota di Indonesia melalui BB-nya. Luar biasa bukan?
Mari kita kembali sejenak ke abad 19 saat Kartini berkorespondensi dengan teman-teman Belandanya dan menghasilkan kumpulan tulisan yang luar biasa. Ia berada dalam kondisi semua yang dialaminya serba terbatas. Komunikasi hanya melalui surat yang dikirim lewat kapal laut. Bagi para Kartini masa kini yang berkecimpung dalam era digital, logikanya tentu tidak perlu menunggu minggu sampai bulanan untuk menghasilkan sebuah karya untuk memperjuangkan atau memberdayakan perempuan lain mengingat cepat dan murahnya teknologi komunikasi. Hanya perlu waktu sekian detik untuk memposting link bahwa seorang bayi sebetulnya tidak memerlukan susu sapi. Informasi ini berasal dari sebuah situs yang mengutip hasil penelitian seorang dokter asal Jepang. Hal ini dapat menyadarkan perempuan untuk tidak terlalu percaya pada iklan susu formula yang gencar ditayangkan di televisi.
Jadi? Teknologi komunikasi adalah sebuah pilihan. Perempuan harus berani memilih apa yang bisa dilakukannya karena itu memang pilihannya, bBukan karena faktor lain. Hanya saja untuk yang ini agaknya tidak banyak yang bisa melakukannya. Meskipun (katanya) tingkat pendidikan perempuan sudah lebih baik. Bahkan dibentuk lembaga untuk memperjuangkan mereka secara khusus yang pada masa RA Kartini belum ada. Mungkin memang tidak terlalu banyak berubah dari 100 tahun yang lalu.***
* Dina Listiorini adalah staf pengajar FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta