Kebebasan Pers untuk Kehidupan Lebih Baik

Artikel opini 13 Mei 2014

Olivia Lewi Pramesti

Menuju Jurnalis sebagai cendikiawan. Inilah judul orasi budaya Hairus Salim HS, penulis dan pendiri AJI Yogyakarta yang ia bacakan di Bentara Budaya Yogyakarta, Sabtu (3/4). Orasi budaya ini dibacakan untuk memperingati world press freedom day atau hari kebebasan pers dunia.

Dalam orasinya ia mengajak  jurnalis  untuk menjadi cendikiawan. Cendikiawan yang dimaksud merujuk pada tanggungjawab dan komitmen jurnalis  berbuat sosial dalam kebebasannya yang terbatas. Ia juga menyinggung persoalan keluarnya sejumlah jurnalis dari situs berita online terkemuka di Indonesia karena menolak campur tangan anak sang pemilik yang tak setuju dengan iklan yang dipandangnya mendukung seorang calon presiden.

Kebebasan pers yang terbatas. Sepertinya ungkapan ini masih tepat  menggambarkan kehidupan pers saat ini. Meski tidak ada lagi pembredelan seperti zaman Orde Baru, namun pers masih berada dalam “tekanan”. Banyak bukti berbicara. Sejak tahun 1996 hingga sedikitnya ada 12 kasus pembunuhan jurnalis. Delapan di antaranya  belum diusut tuntas polisi. Di Yogyakarta  pembunuhan jurnalis Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin pun gagal diungkap. Bahkan Agustus 2014 ini, tragedi Udin sudah memasuki usia 18 tahun. Praktek impunitas dalam kasus Udin terus menyuburkan praktik kekerasan terhadap jurnalis lain. Aliansi Jurnalis Independen Indonesia mencatat sejak Mei 2013 hingga April 2014 terjadi 43 kasus kekerasan. Kasus kekerasan ini dilakukan beragam kelompok seperti polisi, tentara, serta pejabat publik misalnya  gubernur dan kepala dinas.  Kasus-kasus kekerasan inilah yang menyebabkan Indonesia memiliki rapor merah dalam perlidungan profesi jurnalis.

Di sisi lain, UNESCO menetapkan tiga tema pada Hari Kebebasan Pers Internasional 2014. Pertama, peran media dalam pembangunan, keselamatan dan perlindungan hukum bagi jurnalis, dan keberlanjutan dan integritas jurnalisme. Tema ini mengingatkan  pada hakekat kebebasan pers yang  menjadi landasan bagi profesi jurnalisme. Kebebasan pers merupakan bagian dari hak asasi manusia yang terwadahi dalam Deklarasi HAM PBB tahun 1948 serta UUD 1945.

Kebebasan pers sejatinya merupakan  cerminan dari negara demokrasi di mana ruang publik akan tercipta di sana. Idealnya ruang publik merupakan zona bebas tanpa intervensi, di mana media menjadi ruang komunikasi publik untuk menyuarakan pendapat.  Kebebasan pers menjadi sangat penting karena pers bertanggungjawab penuh pada publik  memberikan segala informasi.

Lebih lanjut, kebebasan pers di Indonesia sudah terwadahi pula UU Pers No.40 Tahun 1999. Dalam UU tersebut, terdapat tiga asas utama yakni asas demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Asas demokrasi berkaitan dengan hal-hal yang melarang pihak lain melakukan pemberedelan, sensor. Asas keadilan berkaitan dengan adanya hak jawab dari pers, taat kode etik. Sedangkan asas supremasi hukum berkaitan dengan menghormati asas praduga tak bersalah, hak tolak, serta menghormati norma agama dan kesusilaan dalam masyarakat.

Hanya saja, kebebasan pers saat ini terkesan sangat terbatas. Salah satu penyebabnya adalah tumpang tindih UU Pers dengan UU lainnya seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, UU Intelijen Negara, serta UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Tumpang tindih ini sangat merugikan pekerja media dalam kinerjanya. Informasi yang sedianya mereka cari untuk kepentingan publik, harus dibatasi oleh UU lainnya. Bahkan karena tumpang tindih inilah, jurnalis banyak terjerat pasal hukum.

Seluruh rakyat Indonesia semestinya  memberikan perhatian lebih pada  konsep kebebasan pers. Perhatian ini salah satunya   dilakukan dengan UU yang mendukung penuh pelaksanaan kinerja pers. Seluruh pihak yang berkepentingan perlu “rembug bareng”  merumuskan UU yang memberikan keleluasaan bagi pers mendapatkan informasi. Hal ini tentu saja akan memberikan rasa aman bagi jurnalis bahwa mereka mendapatkan perlindungan hukum yang kuat.

Kesadaran penuh dari masyarakat Indonesia  memahami konsep kebebasan pers itu  sangat penting. Pers merupakan watchdog dari kehidupan demokrasi. Oleh karenanya, segala bentuk kekerasan terhadap pers semestinya tidak perlu ada. Pengungkapan kasus pembunuhan seperti kasus Udin pun semestinya segera diselesaikan. Hal ini sebagai bentuk pertanggungjawaban pihak berkentingan untuk kemerdekaan pers Indonesia.

Lebih lanjut, kebebasan pers juga perlu didukung oleh integritas pelakunya. Integritas ini perlu dipahami bahwa profesi jurnalisme merupakan profesi mulia   mengusung kebenaran untuk publiknya. Integritas berkaitan dengan profesionalisme. Profesionalisme sendiri dapat dipenuhi dari dua unsur yakni mahir dalam teknik dan patuh pada etika. Mahir dalam teknik berarti jurnalis menguasai ketrampilan dalam bidangnya seperti menulis, meliput, melakukan wawancara, dan lainnya. Sedangkan patuh dalam etika berarti jurnalis harus tunduk pada etika jurnalistik yangng tertuang dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ).

Kebebasan pers akan terus mendapatkan tantangan seiring perkembangan teknologi komunikasi. Tak hanya itu, kepentingan kelompok bisnis, politik, dan ekonomi turut pula berpengaruh. Akankah kebebasan pers  makin terakomodasi ataukah justru sebaliknya?

*Olivia Lewi Pramesti, dosen Ilmu Komunikasi FISIP UAJY

Search

Pengumuman