Bernas Jogja, Selasa 3 April 2012
Oleh Ike Devi Sulistyaningtyas
Awal Maret 2012 masyarakat Purwakarta dikejutkan dengan pernyataan wakil Bupati Dudung Bachtiar Supardi. Dudung menyatakan akan meninggalkan kursi jabatannya sebagai orang nomor dua di Pemda kabupaten Purwakarta, dengan alasan merasa dizalimi, hingga membuatnya menjadi tersangka kasus korupsi dana jamuan makan dan minum di Purwakarta.
Peristiwa yang terjadi pada Dudung Bactiar Supardi, bukan yang pertama dalam sejarah pasangan pejabat pemerintahan di tanah air. Wakil bupati atau gubernur yang mundur dari jabatannya dengan berbagai alasan, tampaknya mulai menjadi tren. Hal ini terjadi terutama menjelang pemilu, baik di level negara (pilpres), provinsi (pilgub) dan kepala daerah (pilkada). Tren tersebut menunjukkan betapa kemesraan politik yang ditampilkan sebelumnya luruh oleh berbagai konflik internal yang berakibat pada perpecahan.
Tren Pecahnya Pasangan
Tengok saja pasangan Susilo Bambang Yodhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) yang pada masa pemerintahannya justru sering saling berebut simpati ketika menyikapi peristiwa yang terjadi di tanah air. Adegan demi adegan yang saling menonjolkan performa diri, tidak lain adalah upaya pembentukan citra pada masing-masing tokoh. Belakangan Kalla diberitakan siap dicalonkan sebagai presiden untuk pilpres 2014.
Di ibukota, pasangan Fauzi Bowo-Priyanto juga pecah kongsi, Priyanto mundur sebagai wagub. Prijanto mengungkapkan alasan mundurnya dari jabatan semata-mata karena kehadirannya tidak pernah dianggap oleh Fauzi Wibowo sebagai gubernur DKI Jakarta. Kondisi ini membuat Prijanto tidak lagi merasa produktif dan kondusif dengan jabatan yang diembannya. Mundurnya Prijanto bahkan diikuti oleh peluncuran buku curahan hatinya pada tanggal 25 Januari 2012 . Buku yang dimaksud berjudul “Kenapa Saya Mundur dari Wagub DKI” yang dibagikan pada pendukungnya serta para wartawan pada saat peluncuran buku. Sementara Fauzi Wibowo menegaskan bahwa ia siap melaksanakan tugasnya tanpa dampingan seorang wakil.
Berikutnya, drama kebersamaan Dede Yusuf selaku wakil gubernur Jawa Barat yang juga sudah tidak mesra lagi dengan sang gubernur. Dede Yusuf yang sebelumnya berprofesi sebagai artis memang tidak menyatakan pengunduran diri, namun menjelang 2013 keduanya tampak sudah tidak kompak. Situasi tersebut diperkuat dengan jargon-jargon yang diusung. Jika semula “Hade” sebagai jargon yang menggambarkan Ahmad Heriyawan dan Dede Yusuf menjadi perlambang kemesraan keduanya, maka sekarang jargon “kang Aher” hanya ditujukan bagi Ahmad Heriyawan tanpa menyertakan Dede Yusuf.
Masih di seputar kiprah artis di dunia politik, misal saja Dicky Candra sebagai wakil bupati kabupaten Garut, yang lebih memilih untuk kembali menjadi artis dari pada melanjutkan amanah jabatan yang diembannya. Dicky Chandra dalam sebuah infotainment menyatakan bersedia memulai kembali dari titik nol dalam karirnya sebagai artis, agar terbebas dari rasa bersalah karena merasa tidak bisa melakukan apapun ketika menjabat sebagai wakil bupati Garut. Tragisnya ketika perpecahan dengan bupati Garut terjadi, Dicky Chandra sempat ditampung warga karena tidak memiliki rumah selain rumah dinas yang dipergunakannya.
Apati Publik
Ironi memang membayangkan sebuah relasi yang semestinya dijalankan dengan penuh kebersamaan dan saling dukung, pada akhirnya justru bertentangan bahkan terkesan saling menjatuhkan. Sebenarnya dengan saling menjatuhkan, tidak ada siapapun dari kedua pelaku yang diuntungkan. Barangkali niatan salah satu pelaku politik dari pasangan pejabat pemerintahan ini adalah melakukan upaya political branding yang dianggap lebih kuat jika seorang diri. Namun sesungguhnya yang terjadi adalah munculnya apati publik. Publik merasa frustasi karena tidak lagi dapat menggantungkan harapan pada tokoh politik yang berkecimpung sebagai pejabat pemerintahan. Bayangkan saja bagaimana kecewanya publik yang telah memberikan dukungan suara dan spirit moral, tetapi tidak ditopang dengan kerjasama para tokoh yang menjadi pilihannya.
Apati publik akan semakin mengristal manakala kemesraan yang pernah ditunjukkan oleh duo politik ternyata hanya ditujukan untuk kepentingan potret sesaat. Jangan heran jika kemudian pasangan politik dipersepsi sebagai aktris dan aktor politik yang dipoles, sebagai upaya menjaring massa dan obralan janji semata. Hal ini akan berimbas cukup kuat bagi individu pelaku politik, pada saat mereka akan mengajukan diri lagi pada pemilu yang akan datang. Kini publik dihadapkan pada kenyataan bahwa kemesraan palsu itu dikembangkan demi keuntungan salah satu pihak.
Dua Lebih Kuat
Dalam situasi dan kondisi apapun, idealnya dua lebih kuat dari pada satu. Oleh karena itu, para pelaku politik di level negara, provinsi maupun daerah yang menempuh skenario berpasangan mampu bersinergi untuk menduduki jabatan pemerintahan. Dengan demikian, maka brand yang diusung oleh pelaku politik dalam jalinan berpasangan diharapkan akan terbangun lebih kokoh.
Tingkat relevansi dan intensitas program dan aktivitas pasangan pejabat pemerintahan yang bervariasi, menjadi dasar terbentuknya penilaian positif dari masyarakat. Kedua tokoh politik yang berpasangan perlu mengreasikan kemampuan untuk mengembangkan program berkelanjutan yang dikemas dengan unik, yang pada akhirnya me”moncer”kan nama keduanya. Dengan begitu, maka pada masa yang akan datang, ketika keduanya akan berkiprah kembali pada ruang yang sama atau bahkan pada level yang lebih tinggi, publik akan tetap ingat pada keunikan program yang pernah dibuat. Untuk itu setiap program yang dilaksanakanpun harus menyentuh aspek kognisi, afeksi dan psikomotorik. Jika program yang disusun menuai keberhasilan, maka duo politik tinggal menikmati pembicaraan dari mulut ke mulut (word of mouth) dari hasil pekerjaannya. Dengan mengedepankan kemampuan mendisain dan merealisasikan program kreatif yang berkesinambungan oleh pasangan politik yang berkiprah, dijamin citra kedua individu tetap terjaga dan kanibalisme dapat dihindari.
Kemesraan dalam konteks politik, akan lebih indah jika kembali dirangkai dengan roh menyejahterakan masyarakat. Bukan hanya terperangkap dengan simbol-simbol kemesraan secara harfiah berupa kedekatan fisik yang dipertontonkan, namun lebih diarahkan untuk menjunjung keberagaman dan meluruskan diri dari segala penyimpangan. Kita berharap kemesraan pasangan pejabat pemerintahan dapat diwujudkan dalam perilaku politik yang berpihak pada keadilan, pengorbanan, kejujuran dan kesejahteraan bersama.***
Ike Devi Sulistyaningtyas, M.Si, dosen Program Studi Ilmu Komunikasi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY)