Bernas Jogja, Selasa, 1 Mei 2012
Oleh Ike Devi Sulistyaningtyas
Apakah unsur paling vital dalam sebuah organisasi? Jawabannya adalah sumber daya manusia. Namun organisasi terutama yang bergerak di bidang bisnis kerapkali melupakan unsur manusia. Organisasi disibukkan oleh kondisi keuangan, target produksi dan teknologi terbaru.
Apa yang terjadi jika manusia dilupakan dalam organisasi? Salah satu akibatnya tergambar dalam peristiwa demo buruh besar-besaran di Cikampek pada 27 Januari 2012. Hal tersebut merupakan potret tidak dimanusiakannya manusia. Seperti diungkap berbagai media massa, problemnya terletak pada pelaksanaan Upah Minimum Kabupaten atau Kota (UMK) 2012.
Buruh merupakan sumber daya manusia yang berperan penting tidak hanya bagi organisasi di mana mereka berkarya, tetapi juga bagi perubahan dalam sosial kemasyarakatan. Hal tersebut tergambar menjelang kenaikan harga BBM 27 Maret di mana sejumlah buruh di Cimahi turut andil menyuarakan aspirasi dalam demo dan sweeping besar-besaran menolak kenaikan harga BBM.
Pada hari buruh sedunia “May Day” 1 Mei 2012, sejumlah buruh dari Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi dan beberapa daerah di Provinsi Banten dan Jawa Barat mengadakan aksi demo damai di depan Istana. Mereka menyuarakan tiga isu besar yang intinya mendorong pelaksanaan jaminan sosial nasional pada 2014, pemberian upah layak, dan penghapusan sistem pekerja alih daya (outsourcing) yang menurut mereka bertentangan dengan undang-undang. Pengajuan isu tersebut merupakan upaya mewujudkan tercapainya keadilan bagi para buruh dalam mendapatkan hak asasi manusia.
Ramah dan Humanis
Organisasi yang bergerak dalam bidang bisnis, memang dapat menjadi agen perubahan. Hadirnya pabrik, kantor atau produk baru yang bersifat massal mengakibatkan perubahan bagi masyarakat, namun bukan berarti melupakan manusia sebagai organ terpenting. Membangun organisasi bisnis harus dibarengi juga dengan menjaga semangat keadilan, menegakkan hak asasi dan harga diri sesama manusia. Hal ini memang mudah diungkapkan, namun sulit untuk direalisasikan. Tetapi jika berhasil dilaksanakan akan membawa peradaban dan kesejahteraan sumber daya manusia berkelanjutan.
Kalangan organisasi bisnis ditantang untuk bekerja dengan hati. Kapitalisme baru (neo-capitalism) mensyaratkan dilibatkannya kepekaan sosial, kelestarian lingkungan hidup, keramahan teknologi dan keuntungan ekonomi yang wajar dalam proses organisasi. Keempat hal ini menjadi dasar dalam mewujudkan masa depan berkelanjutan (sustainable future) dari organisasi bisnis.
Dalam mengupayakan organisasi yang ramah dan humanis sebagai wujud kepekaan sosial, diperlukan komitmen dari manajemen untuk memperhatikan hak hidup maupun hak sosial budaya bagi sumber daya manusia tidak terkecuali para buruh, bahkan harus peduli dan peka pada kearifan tradisional. Salah satu kebijakan untuk menjadikan organisasi ramah dan manusiawi, adalah menempatkan komunikasi sebagi jembatan dan media dalam berelasi dan menyelesaikan problem dalam organisasi.
Hal ini sejalan dengan apa yang diutarakan oleh mantan wakil presiden Jusuf Kalla dalam mengomentari peristiwa demo Cikampek di beberapa media. Ia mengatakan, masalah dasar demo buruh Cikampek adalah masalah komunikasi. Kalla menegaskan pula bahwa komunikasi yang dimaksudkan adalah komunikasi antara pemerintahan daerah dengan pengusaha, dan merembet pada komunikasi pengusaha dengan para buruhnya. Sekalipun komunikasi bukan merupakan panasea dalam menyelesaikan permasalahan, namun dengan komunikasi setidaknya terdapat aspek psikologis dan nonverbal seperti kontak, kedekatan, keramahan dan senyuman yang dibutuhkan dalam setiap relasinya.
Komunikasi dalam Organisasi
Kegagalan dan keberhasilan organisasi sangat bergantung pada bagaimana manajemen dan komunikasi yang dikelola terhadap stakeholders (Cutlip, Center dan Broom, 2009). Dalam konteks ini, buruh merupakan salah satu stakeholders vital bagi organisasi. Oleh karena itu dibutuhkan upaya membangun dan mempertahankan hubungan yang bermanfaat antara organisasi dan buruh. Kemampuan dan kemauan melakukan hubungan baik inilah yang dipahami sebagai perilaku organisasi, sebagai pengejawantahan budaya organisasi. Sedangkan budaya organisasi dimaknai sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku anggota. Di dalamnya terdapat seluruh nilai, simbol, makna, keyakinan, asumsi dan ekspektasi yang dianut bersama untuk mengorganisir dan mengintegrasikan sekelompok orang yang bekerjasama.
Kita telah menyaksikan dalam berbagai demo, betapa kuatnya komunikasi di antara para buruh yang merasa ditindas. Peristiwa ini menunjukkan kemerosotan kepercayaan buruh kepada organisasinya sendiri, bahkan juga pemerintah. Buruh menilai organisasi dari kebijakan yang dibuat manajemen. Sementara kebijakan tersebut harus mengungkapkan filsafat manajemen dalam memberikan kepuasan kepada segenap sumber daya manusia yang ada dalam organisasi, hingga pada akhirnya buruh akan memberikan usaha, kecakapan dan kesetiaan secara maksimum kepada organisasi.
Upaya memastikan pemahaman tentang filsafat, kebijakan dan praktiknya, adalah dengan memelihara komunikasi dua arah antara manajemen dan sumber daya manusianya. Komunikasi dua arah ditujukan untuk memberikan informasi mengenai praktik organisasi yang menyangkut kepentingan di dalamnya, seperti kondisi pekerjaan, gaji dan tunjangan, keuangan organisasi, hasil riset organisasi, perluasan usaha dan masalah lain yang mempengaruhi pekerjaan dan kesejahteraan buruh. Jika terdapat kegagalan dalam praktik komunikasi dua arah, maka sangat besar kemungkinan timbulnya kesalahpahaman, desas-desus (grapevine) dan kecaman, sebab buruh akan bermain dengan asumsinya sendiri.
Pada dasarnya buruh ingin didengarkan oleh manajemen tentang pekerjaan dan berbagai kepentingannya. Komunikasi dua arah yang diharapkan dilakukan organisasi membuka kesempatan kepada buruh untuk mengajukan pertanyaan dan memberikan usulan kepada manajemen.
Prinsip Komunikasi
Komunikasi dua arah yang diharapkan terwujud membutuhkan kesanggupan para manajemen untuk menjawab tiga tantangan utama: Pertama, apakah manajemen memiliki komitmen kuat melakukan komunikasi? Kedua, apakah manajemen dapat secara efektif berkomunikasi dengan buruh? Ketiga, apakah manajemen yakin bahwa komunikasi yang dilakukan dipercaya oleh buruh? Pada banyak kasus, permasalahan utamanya adalah buruh tidak memahami bagaimana mereka dipandang oleh manajemen. Intinya, kepercayaan harus terus dibangun oleh manajemen dan buruh.
Idealnya terdapat empat tahap untuk membangun kepercayaan para buruh. Tahap pertama, membangun komunikasi yang strategis, artinya manajemen harus menciptakan proses komunikasi yang jelas tujuan dan perannya. Tahap kedua, komunikasi yang jujur, yaitu bentuk komunikasi seturut dengan kebijakan yang dirancang dan realisasinya, bukan sekedar lip service. Tahap ketiga, terbuka, merupakan upaya mendengarkan masukan dan kritikan buruh yang dielaborasi dengan tindakan nyata. Tahap empat, konsisten, diwujudkan dalam tindakan yang berkelanjutan. Atinya, ketika manajemen mulai membuka ruang komunikasi dengan buruh, maka selanjutnya harus terus dipertahankan.
Dengan berkaca pada berbagai demonstrasi buruh dapat disimpulkan masih terjadi ketimpangan komunikasi dalam organisasi bisnis dan upaya menuntut perlakuan manusiawi terhadap mereka. Memberikan penghargaan terhadap buruh akan menciptakan hubungan harmonis buruh dan pelaku organisasi bisnis.***
Ike Devi Sulistyaningtyas, M.Si, dosen Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta.