Oleh Imma Indra Dewi W
Bernas Jogja, Selasa, 14 Februari 2012
Sebulan lalu Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan perkara nomor 27/PUU-IX/2011 yang merupakan hasil pengujian Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK) terhadap UUD 1945. Permohonan diajukan oleh Didi Suprijadi sebagai perwakilan dari Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2ML). Putusan ini menuai berbagai tanggapan. Ada yang setuju ada yang keberatan. Pada intinya putusan MK tersebut menyatakan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang dikenal dengan sistem kontrak tidak berlaku dalam hubungan kerja antara buruh dengan perusahaan outsourcing sepanjang dalam perjanjian tersebut tidak diatur mengenai pengalihan perlindungan hak-hak buruh ketika terjadi pergantian perusahaan outsourcing dalam satu perusahaan pemberi kerja. Mengapa terjadi kontroversi dalam menanggapi putusan ini?
Outsourcing sebelum Putusan MK
Secara sederhana outsourcing adalah pengerahan tenaga kerja oleh sebuah perusahaan untuk ditempatkan di sebuah perusahaan lain (user). Pekerja yang disediakan biasanya mempunyai spesifikasi tertentu. Sistem ini dipandang efisien oleh user karena dapat mengurangi beban anggaran perusahaan untuk kepentingan pembiayaan SDMnya. Mengapa? Secara hukum, dalam sistem outsourcing hubungan pekerja hanya ada dengan perusahaan pengerah bukan dengan perusahaan user. Antara user dengan pengerah terikat kontrak kerja tertentu. Karena terikatnya dengan kontrak maka harganya pun juga bisa dinego. Akibat negosiasi tersebut, biasanya kesejahteraan dan perlindungan hak-hak pekerja outsourcing yang menjadi korban. Hal ini pula yang mendasari Didi Suprijadi mengajukan permohonan pegujian UUK kepada MK. Didi juga mempermasalahkan ketentuan tentang PKWT (sistem kontrak) dalam kaitannya dengan outsourcing.
Dalam UUK diatur bahwa pekerja outsourcing dapat diikat dengan PKWT maupun PKWTT (tetap). Parahnya dengan sistem kontrak adalah ketika perusahaan outsourcing tidak dapat job maka habislah riwayat pekerja outsourcing. Dalam UUK juga ditetapkan bahwa pekerjaan yang boleh dioutsurcingkan meliputi pekerjaan yang bukan merupakan core bussines. Tanpa memandang apakah pekejaan tersebut harus dilakukan terus menerus atau tidak. Pemahaman core bussines inipun masih kontroversi. Sebagai contoh apa yang dikerjakan Didi Suprijadi sebagai pembaca meter listrik. Jika tidak ada pembaca meter apakah PLN bisa melaksanakan tugasnya melayani masyarakat dengan baik. Artinya selama PLN masih ada akan selalu ada pekerjaan sebagai pembaca meter.
Outsourcing setelah Putusan MK
Setelah adanya putusan MK terjadi sedikit perubahan. Intinya jika user berganti perusahaan outsourcing, maka pekerja outsourcing harus tetap dipekerjakan oleh perusahaan outsourcing yang baru. Atau istilah awamnya oper kontrak. Syaratnya pekerjaan yang dilakukan sama dan kesejahteraan yang diberikan pada pekerja outsourcing harus sama dengan yang ada dalam kontrak sebelumnya. Bahkan lebih meningkat dari sebelumnya karena sudah ada pengalaman kerja.
Sepintas putusan MK ini melindungi pekerja outsourcing, namun jika dikaji lebih jauh apa yang diharapkan Didi Suprijadi belum dapat diwujudkan. Karena dengan putusan MK ini pekerja outsourcing tetap berstatus pekerja kontrak meskipun perusahaan outsourcing ganti. Dalam putusannya MK hanya mensyaratkan bahwa gantinya perusahaan outsourcing tidak menyebabkan gantinya pekerja. Jadi pekerja outsourcing hanya berpindah lubang dari mulut buaya yang satu ke buaya yang lain. Kelemahan pekerja kontrak di Indonesia adalah daya tawarnya rendah, karena terbatasnya lapangan pekerjaan dibanding jumlah pengangguran yang begitu besar.
Permasalahan lain adalah nasib pekerja outsourcing tidak dijamin jika user tidak lagi menggunakan sistem outsourcing. MK hanya menegaskan bahwa sistem kontrak bagi outsourcing bertentangan dengan UUD dan tidak mempunyai kekeuatan hukum jika tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja Dalam pandangan MK putusnya hubungan antara user dengan perusahaan outsourcing selalu terjadi karena masa kontrak habis dan user tetap memanfaatkan sistem outsourcing. Bagaimana jika user memutuskan tak akan menggunakan sistem outsourcing lagi? Bagaimana jika perusahaan outsourcing baru menolak mempekerjakan pekerja outsourcing dari perusahaan sebelumnya? MK hanya memberi kedudukan hukum pada pekerja untuk mengajukan gugatan perselisihan hak ke PHI.
Masalah peralihan perusahaan pun tidak sesederhana yang dibayangkan. Dalam UUK pekerja dapat menolak bekerja di perusahaan dengan manajemen baru, begitu pula sebaliknya dengan perusahaan dapat menolak pekerja. Jika dalam perjanjian outsourcing ditetapkan bahwa jika obyek pekerjaan di tempat user masih ada dan masih digunakan sistem outsourcing maka pekerja outsourcing yang ditempatkan di tempat user sebelumnya harus direkrut oleh perusahaan outsourcing yang baru. Ketentuan ini bertentangan dengan ketentuan UUK tentang kebebasan pekerja memilih perusahaan. Karena dengan terbatasnya lapangan pekerjaan seperti sekarang pekerja outsourcing tentu cenderung memilih menerima kontrak dengan perusahaan baru.
Legalisasi Perbudakan Modern
Putusan MK tersebut sebenarnya belum cukup melindungi pekerja outsourcing. Malah dengan putusan tersebut makin jelas bahwa pekerja outsourcing dianggap seperti benda. Pekerja outsourcing yang notebene manusia dianggap sebagai obyek. Padahal dalam hukum pekerja adalah subyek dengan segala hak dan kewajiban yang melekat. Dengan putusan yang demikian sebenarnya MK masih melanggengkan sistem perbudakan modern. Sistem ini dibalut dengan adanya kontrak. Akan lebih memanusiakan pekerja jika sistem kontrak kerja bagi pekerja outsourcingnya yang dikaji ulang. Bukan hanya menetapkan bahwa dalam perjanjian harus ada jaminan perlindungan hak-hak pekerja outsourcing jika terjadi pergantian kontrak antara user dengan perusahaan outsourcing yang lain.
Dengan putusan ini pula MK telah mengebiri hak perusahaan outsourcing yang baru untuk memilih pekerja sesuai standarnya. Memang nampaknya secara halus MK bermaksud mendorong agar pekerja outsourcing tetap mendapat pekerjaan tanpa memperhatikan habisnya masa kontrak antara user dengan perusahaan outsourcing. Tapi MK lupa bahwa sistem kontrak ada jangka waktunya. Selebihnya harus jadi pekerja tetap. Lantas pekerja tetap perusahaan yang mana? Bagaimana jika nantinya perusahaan outsourcing melakukan penyelundupan hukum dengan sedikit mengubah status perusahaan seolah-olah menjadi perusahaan lain? Bukankah dengan demikian telah terjadi permainan terhadap hak pekerja outsourcing.
Barangkali MK lupa bahwa sebelum adanya UUK sistem perbudakan ini telah dihapuskan. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, ada yang namanya sistem persewaan pelayan dan pekerja. Sistem ini sudah lama dihapus karena mengasumsikan pekerja sebagai obyek yang dapat dipersewakan. Dengan adanya outsourcing, sistem ini dimunculkan lagi dengan nama yang berbeda. Tapi hakekatnya adalah sama perbudakan. Karena outsourcing lahir di Indonesia untuk mengcover jumlah pekerja melebihi lapangan pekerjaan. Sementara pekerja tersebut tidak dibekali ketrampilan cukup, sehingga daya tawarnya rendah. Kesejahteraannya pun bergantung pada hasil nego dengan user. Itupun masih dipotong dengan keuntungan untuk pengusaha outsourcing. Beda kondisinya dengan di luar negeri. Tenaga outsourcing dipilih walau harganya mahal karena keahliannya yang cukup memadai. Jadi apakah MK berkeinginan melegalisasi sistrem perbudakan modern?
Imma Indra Dewi W., SH., M.Hum, Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta