Menanti Hasil Uji Materi UU Penyiaran

Bernas Jogja, 17 Juli 2012

Oleh Lukas S. Ispandriarno

Masyarakat  maupun  Koalisi Independen untuk Demokrasi Penyiaran (KIDP) yang terdiri dari sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat  menanti-nanti  hasil uji materi (judicial review) Undang-Undang No 32/2002 tentang Penyiaran di Mahkamah Konstitusi. Sidang (hearing) telah berlangsung Februari-April 2012 namun hingga pertengahan Juli MK belum juga mengumumkan hasilnya.  Sementara itu pemusatan kepemilikan industri penyiaran semakin mengkhawatirkan dengan masuknya konglomerat televisi ke partai politik. Tahun 2014, terutama menjelang pemilihan umum,  televisi yang diakses mayoritas warga masyarakat bakal menjadi ajang pencitraan pemilik partai sekaligus si empunya stasiun televisi.

Kecenderungan pemusatan kepemilikan  lembaga penyiaran swasta (LPS) komersial pada segelintir orang telah mendorong pendaftaran uji materi tersebut. Pemohon adalah  sebuah kelompok warga masyarakat (civil society) yang memiliki komitmen pada demokrasi penyiaran. KIDP terdiri dari Perkumpulan Media Lintas Komunitas, Lembaga Bantuan Hukum Pers, Pemantau Regulasi dan Regulator Media, Aliansi Jurnalis Independen, serta Yayasan 28. Koalisi berpendapat,  pasal 18 dan 34 UU Penyiaran bertentangan dengan pasal 28D ayat (1), pasal  28F, dan  pasal  33 ayat  (3 ) UUD 1945. Pasal 18 ayat (1) menyatakan, pemusatan kepemilikan dan penguasaan LPS oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi. Sedangkan pasal Pasal 34 ayat (4) menyebutkan,  izin penyelenggaraan penyiaran dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain.

Pemohon mencatat sejumlah fakta terjadinya pelanggaran UU Penyiaran terutama mengenai dominasi dan pemusatan kepemilikan badan hukum. Misalnya pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta; pemberian, penjualan dan pengalihan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) dalam kasus PT. Media Nusantara Citra Tbk yang menguasai/memiliki PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI/MNC TV), PT. Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) dan PT. Global Informasi Bermutu (Global TV), yang dilakukan  Juni 2007. Terjadi pula pada Februari 2011,  pemberian, penjualan dan pengalihan IPP pada kasus PT.Visi Media Asia Tbk yang menguasai PT Cakrawala Andasal Televisi (ANTV) dan PT Lativi Media Karya (TVOne). Contoh lain adalah pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta; pemberian, penjualan dan pengalihan IPP dalam kasus PT. Elang Mahkota Teknologi (Emtek) Tbk yang menguasai PT. Indosiar Karya Media yang memiliki PT. Indosiar Visual Mandiri (Indosiar) dan menguasai PT. Surya Citra Media Tbk (SCMA) yang memiliki PT. Surya Citra Televisi (SCTV), yang dilakukan sekitar Juni 2011.(mediaindependen.com, 20/10).

Pada ketiga kasus tersebut Koalisi berpendapat telah terjadi penafsiran sepihak oleh badan hukum/perseorangan terhadap pasal 18 dan 34 UU Penyiaran. Peristiwa yang tidak kurang menghebohkan terjadi pada akhir 2011 ketika  Harry Tanoe Soedibyo, bos MNC,  bergabung ke Nasional Demokrat (Nasdem). Juli 2012 Nasdem dinyatakan sah oleh Kementerian Hukum dan HAM sebagai partai baru peserta pemilu. MNC menguasai tiga stasiun televisi, Global TV, TPI, RCTI yang semuanya bersiaran secara nasional dari Jakarta. Sedangkan stasiun lain,  MetroTV,  TVOne dan ANTeve, seperti kita ketahui kerap kali menampilkan sosok pemiliknya, Surya Paloh dan Aburizal Bakrie. Siaran langsung aktivitas Nasdem bisa berdurasi puluhan menit dan tentu saja disertai pidato berapi-api sang ketua. Empat LPS  tersebut berada di bawah bayang-bayang Partai Nasdem (Surya Paloh dan Harry Tanoe).

Persoalannya, semua siaran stasiun televisi komersial  menyebar ke seantero pelosok tanah air dengan memanfaatkan kekayaan alam milik semua warga Indonesia  yaitu gelombang elektromagnetik (frekuensi). Pasal 33 UUD 1945 khususnya ayat (3) mengamanatkan, bumi dan  air dan kekayaan alam  yang terkandung di dalamnya dikuasi oleh negara dan dipergunakan untuk untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Muncul setidaknya dua pertanyaan, pertama, seberapa serius negara menjalankan pasal ini? Kedua, apakah trilyunan rupiah yang diraup industri televisi dari iklan menetes ke khalayak (warga masyarakat) atau masuk ke kantong konglomerat?

Dalam beberapa kali sidang yang digelar di MK, muncul sejumlah argumentasi dari pengacara LPS maupun wakil-wakil pemerintah yang antara lain mengatakan bahwa pasal-pasal tersebut telah jelas dan tidak mengandung multi tafsir. Kepemilikan dua atau tiga LPS bukanlah sebuah monopoli sehingga tidak benar bila ada pemusatan kepemilikan.  Selain itu, tuduhan telah diabaikannya keragaman isi (diversity of content) juga tidak betul karena persaingan di antara stasiun televisi telah mendorong pembuatan program yang beragam. Bahkan, kata para wakil pemerintah yang tampil di sidang MK, kehadiran televisi digital bakal semakin meragamkan  isi siaran televisi baik yang dibuat oleh LPS maupun pihak-pihak lain.

Benarkah demikian? Itulah perdebatan yang berlangsung dalam sidang di MK. Sejumlah pihak yang terkait dengan kasus ini, antara Masyarakat Peduli Media dan Asosiasi Televisi Komunitas Indonesia menyatakan bahwa tidak terjadi desentralisasi penyiaran seperti diamanatkan UU No 32/2002, namun justru sentralisasi penyiaran oleh “televisi Jakarta.” Stasiun televisi itu menyiarkan program yang bersifat Jakarta (“Jakarta sentris”) atau  “Jawa sentris” dan tidak memberi ruang bagi ekspresi budaya lokal di masing-masing daerah, kabupaten, provinsi. Selain itu, sejumlah acara hiburan juga tidak bersifat mendidik,  mengajarkan pola hidup konsumtivisme, kekerasan, bahkan pelecehan pada kaum perempuan serta kelompok minoritas.

Perdebatan ini dapat diikuti dengan menghadiri sidang maupun  membaca sejumlah risalah yang diterbitkan MK dalam perkara nomor 78/PUU-IX/2011 (mahkamahkonstitusi.go.id). Adu argumentasi berlangsung seru serta cukup menegangkan dan ada kecenderungan wakil pemerintah yang tampil lebih membela LPS yang tidak lain adalah konglomerat televisi. Argumentasi bahwa keragaman isi semakin terwakili dengan kehadiran televisi digital juga patut dipertanyakan karena  pemilik televisi digital lagi-lagi akan dan sudah jatuh di pelukan pebisnis siaran kelas kakap.

Lukas S. Ispandriarno, dosen FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

 

 

Search

Pengumuman