Mengapa Perlu Regulasi Penyiaran?

Oleh Bonaventura S. Bharata

Bernas Jogja, Selasa 22 Mei 2012

“…tapi yang terpenting jangan mau diracuni…. jangan mau diracuni oleh kebohongan mereka… !”

Kutipan kalimat di atas diambil dari sebuah film dokumenter The Revolution Will Not Be Televised yang mengetengahkan perlawanan yang gagah berani dari presiden terkenal  Venezuela, Hugo Chaves, terhadap beberapa korporasi stasiun televisi besar di negara tersebut yang terlibat dalam upaya penggulingan kekuasaan yang sah dari sang presiden. Kata mereka dalam kutipan  kalimat di atas menunjuk pada sejumlah korporasi stasiun televisi besar di Venezuela yang berupaya mempercepat penggulingan Hugo Chaves di awal dasawarsa tahun 2000-an. Ini dilakukan dengan cara melakukan framing berita terhadap semua tindakan dan keputusan-keputusan kontroversial sang presiden yang lebih berpihak kepada rakyat kecil namun merugikan para pengusaha besar yang di antaranya memiliki stasiun televisi tersebut.

Peristiwa ini menunjukkan kepada kita betapa televisi sebagai media komunikasi massa memiliki pengaruh sangat kuat bagi pembentukan opini publik masyarakat. Karakterisik media televisi yang bersifat audio visual dan daya jangkau yang luas (menggunakan frekuensi gelombang elektromanetik) mempermudah akses masyarakat terhadap informasi apapun yang disiarkan. Di satu sisi tentu saja ini merupakan keunggulan, di mana informasi yang penting dapat segera dipublikasikan ke masyarakat luas  dan dalam tempo yang singkat. Namun di sisi lain, bukan tidak mungkin keunggulan ini dapat disalahgunakan untuk menyampaikan informasi-informasi yang dilandasi oleh kepentingan pihak-pihak tertentu, seperti halnya kepentingan para pemilik stasiun televisi di Venezuela pada kasus di atas.

Kejadian yang berlangsung di Venezuela menjelaskan secara jernih kepada kita, mengapa kita perlu mengatur penyiaran televisi. Perlu kesadaran bahwa frekuensi gelombang elektromagnetik atau frekuensi radio yang digunakan oleh stasiun televisi untuk keperluan operasionalnya tersebut, merupakan benda atau barang publik. Frekuensi radio ini bukan benda atau barang privat yang bisa dimiliki oleh segelintir orang saja. Tidak perlu merasa gundah dengan pernyataan ini, karena dalam sistem penyiaran  negara lain yang mengaku sebagai negara demokrasi, hal ini pun sudah diakui. Benda atau barang publik (Armando, 2011) memiliki karakteristik, yakni bila benda atau barang tersebut digunakan atau dimanfatkan oleh satu pihak tertentu untuk kepentingan tertentu, maka mau atau tidak mau benda atau barang tersebut akan berpengaruh pula pada pihak yang lain. Frekuensi radio juga memiliki karakteristik ini. Ketika frekuensi radio ini digunakan oleh sekelompok orang (misalnya pengusaha), kehadirannya langsung berpengaruh pada banyak orang.

Hal inilah yang menjadi dasar penjelasan, mengapa industri penyiaran televisi memiliki lebih banyak regulasi bila dibandingkan dengan sektor lain. Regulasi tersebut diperlukan guna melindungi masyarakat sebagai publik yang memiliki frekuensi radio. Artinya regulasi diperlukan agar terdapat garansi bahwa informasi yang disampaikan oleh lembaga penyiaran memang benar-benar merupakan informasi yang dilandasi oleh semangat untuk meningkatkan derajat kualitas hidup masyarakat sebagai publik. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2002: 12) sebagai praktisi media (jurnalis) pernah menyatakan bahwa sejatinya eksistensi media massa di tengah masyarakat  dimaksudkan agar media massa mampu berperan membangun kehidupan masyarakat lebih merdeka. Dengan informasi yang disampaikan, masyarakat dapat menggunakannya untuk membuat kehidupan mereka menjadi jauh lebih baik. Bukan justru sebaliknya, yakni ketika menerima informasi, kehidupan masyarakat malah menjadi lebih buruk.

Adanya regulasi tentu memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa informasi yang disampaikan oleh lembaga penyiaran merupakan informasi yang benar.  Informasi yang benar, yang sering kita temukan dalam bentuk berita sebagai produk jurnalistik, haruslah merupakan informasi yang akurat, tidak tendensius, dan tidak memunculkan stigma atau stereotype. Untuk yang satu ini,  kita bisa mengutip pendapat  Denis McQuail (1991: 130) yang menyatakan bahwa bila informasi ini merupakan produk jurnalistik, berarti informasi tersebut haruslah obyektif, yakni faktual (benar ada dan sesuai fakta), relevan (berkesesuaian dengan kepentingan masyarakat), netral (tidak sensasional atau terkesan mendramatisir), dan berimbang (menampilkan dua pihak pada peristiwa yang kontroversi atau lazim disebut cover both side).

Dalam realitas penyiaran Indonesia, tidak jarang masyarakat menerima informasi yang tidak benar melalui produk jurnalistik televisi. Seperti contohnya pada pemberitaan tentang persiapan penyelenggaraan Pekan Olah Raga Sea Games di Palembang di akhir tahun lalu. Beberapa televisi swasta demikian gencar memberitakan secara tendensius ketidaksiapan panitia pelaksana dan pemerintah untuk menggelar event dua tahunan pesta olah raga akbar se-Asia Tenggara tersebut. Bahkan sebuah stasiun televisi swasta yang mengkhususkan diri sebagai stasiun televisi berita memasang ikon atau penanda waktu mundur (countdown timer) pada tayangan beritanya. Penghitung waktu mundur ini mulai ditayangkan tepat sebulan sebelum dibukanya pekan olah raga tersebut. Semua berita yang masif ini tentunya mampu menggiring opini publik masyarakat untuk turut meyakini bahwa pergelaran Sea Games Palembang memang tidak siap, bisa sampai ditunda bahkan juga dibatalkan. Akan tetapi akhirnya, semua berita ketidaksiapan penyelenggaraan Sea Games terebut terbantahkan dengan suksesnya penyelenggaraan yang tepat waktu sesuai dengan jadwal yang telah direncanakan.

Selain mendapatkan jaminan untuk memperoleh infomasi yang benar, dengan regulasi itu pula, masyarakat juga mendapatkan perlindungan untuk memperoleh informasi yang layak.  Informasi yang layak berkait dengan kepantasan sebuah informasi untuk disampaikan kepada publik. Walaupun masalah layak atau kepantasan ini masih dapat diperdebatkan, namun dalam realitasnya masyarakat memang bisa dengan mudah melihat bagaimana informasi yang nyata-nyata tidak layak atau tidak pantas tersebut muncul di layar kaca kita. Sebut saja sinetron yang kerap menayangkan kekerasan baik fisik maupun simbolik, tayangan hiburan (yang lebih sering disebut masyarakat sebagai infotainment) yang sering masuk ke wilayah privat, sampai pada tayangan komedi ataupun talk show hiburan yang merendahkan perempuan dan kelompok-kelompok minoritas masyarakat.

Perlunya pengaturan melalui regulasi sistem penyiaran televisi di Indonesia juga bukan tanpa alasan. Pengaturan ini berangkat dari kompleksitas yang terjadi pada sistem penyiaran televisi kita. Bayangkan saja, dari semua sistem penyiaran televisi yang ada, sistem penyiaran berbasis komersial (swasta) tampak paling mendominasi. Perhitungan ekonomi (profit) jelas menjadi pertimbangan utama dalam menentukan isi siaran. Produksi program siaran tidak lagi ditentukan oleh apa yang dibutuhkan masyarakat, namun lebih pada apa yang disukai, terlepas dari apakah program siaran tersebut akhirnya dibutuhkan atau tidak oleh masyarakat. Belum lagi dalam rangka memperbesar profit, jangkauan siaran dari stasiun-stasiun televisi swasta ini diperluas hingga  berskala nasional, dari Sabang sampai Merauke. Artinya sebagian besar masyarakat Indonesia yang tersebar di pelosok-pelosok tanah air dapat menikmati siaran televisi tersebut, lepas dari apakah siaran tersebut cocok atau tidak dengan kultur maupun adat istiadat setempat. Singkat kata, tidak dapat diingkari kepentingan ekonomi mendominasi dan diyakini akan mempengaruhi isi siaran.

Di sisi yang lain lagi, tumpang tindih antara kepentingan ekonomi dan politik di sistem penyiaran televisi kita tidak mudah dikesampingkan  sebagai sebuah masalah yang sederhana. Bukan rahasia lagi ketika kita melihat dan mendengar bahwa ada seorang pengusaha besar yang memiliki stasiun TV tertentu juga merupakan pengurus partai politik besar di tanah air. Kemudian ada pula pengusaha besar dari pemilik stasiun TV yang lain lagi, juga menjadi pengurus Dewan Pembina sebuah partai politik yang baru lahir. Hal ini masih ditambah lagi dengan makin mengerucutnya kepemilikan stasiun televisi kepada segelintir orang atau pengusaha. Kondisi ini tentu riskan bagi dunia penyiaran Indonesia. Sangat mungkin bila para pemilik stasiun televisi tersebut menggunakan televisinya sebagai media untuk melanggengkan kepentingan politiknya.

Dengan memahami kondisi semacam ini, sebaiknya kita menyadari mengapa regulasi isi di sistem penyiaran Indonesia tetap penting dan akan terus diperlukan. Pada awal April 2012 lalu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sudah meluncurkan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran yang baru (P3SPS 2012). P3SPS 2012 ini akan menggantikan P3SPS 2004 yang dinilai sudah tidak memadai lagi untuk mengatur penyiaran Indonesia yang sudah semakin berkembang dan kompleks. Lepas dari kontoversi pro kontra yang mewarnai kehadiran P3SPS 2012 ini, kita juga perlu menyambut baik regulasi ini untuk mengatur isi siaran televisi agar semakin baik dan beradab.

Berkaca dari peristiwa yang terjadi di Venezuela pada awal tulisan di atas, tentu kita tidak berharap bahwa peristiwa serupa terjadi di Indonesia. Memang benar bahwa televisi sebagai media massa juga perlu berperan sebagai the watch dog bagi pemerintah. Namun sekali lagi peran sebagai the watch dog ini harus dilakukan dengan dilandasi oleh kepentingan masyarakat selaku publik, bukan karena adanya kepentingan ekonomi dan politik yang tersembunyi di balik siaran televisi. ****

Bonaventura S. Bharata, SIP, M.Si, dosen Ilmu Komunikasi FISIP-Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Search

Pengumuman