Bernas Jogja, Selasa 30 April 2013
Oleh Yohanes Widodo
Sejak era kolonial, Nusantara dilirik oleh bangsa-bangsa barat karena kekayaan alamnya. Namun kini, kendati kaya, Indonesia masih tertinggal dengan negeri jiran, seperti Singapura dan Malaysia. Penyebabnya, seperti Schumpeter (1934) bilang: ‘Enterprenuership is driving force behind economic growth.’ Kendati minim kekayaan alam, jiran kita itu mampu mengubah knowledge menjadi capital. Mereka mampu mengembangkan technopreneurship dan mendasarkan pembangunan ekonominya pada pengetahuan (knowledge based economy) yang ditandai dengan penerapan inovasi di bidang teknologi dan manufaktur, layanan bisnis yang memanfaatkan pengetahuan, serta produksi dan distribusi konten kreatif.
Technopreneurship
Technopreneur adalah entrepreneur yang core businesses-nya berbasis pengetahuan atau teknologi. Mereka menggunakan teknologi untuk menemukan produk atau inovasi baru melalui proses komersialisasi. Technopreneurship umumnya diwakili oleh perusahaan multimedia (ICT). Bisnis ini ditandai dengan potensi pertumbuhan yang tinggi serta penggunaan pengetahuan dan hak kekayaan intelektual. Misalnya, bisnis software komputer, new media, electronic databases and libraries, serta bisnis pengiriman barang dan jasa melalui Internet (Ghazali, 2011).
Technopreneurship dapat memberikan manfaat atau dampak, baik secara ekonomi, sosial, maupun lingkungan (Suparno et al, 2008). Secara ekonomi dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas, meningkatkan pendapatan, lapangan kerja baru, dan menggerakkan sektor-sektor ekonomi lain. Dari sisi sosial, mampu membentuk budaya baru yang lebih produktif dan berkontribusi memberikan solusi pada penyelesaian masalah-masalah sosial. Dari sisi lingkungan, technopreneurship memanfaatkan bahan baku dari sumber daya alam secara lebih produktif dan meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya terutama sumber daya energi.
Technopreneurship juga bermanfaat dalam pengembangan industri-industri besar dan canggih. Selain itu, juga dapat memberikan manfaat kepada masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi lemah dan mendukung pembangunan berkelanjutan. Menurut Ono Suparno et.al (2012), ada beberapa bidang investasi dan inovasi yang dapat diprioritaskan untuk memberi manfaat kepada masyarakat, terdiri dari (1) air, (2) energi, (3) kesehatan, (4) pertanian, dan (5) keanekaragaman hayati.
Peran Perguruan Tinggi
Realitasnya, technopreneurship di Indonesia belum berkembang. Ini tercermin dari masih sedikitnya jumlah pengusaha berbasis pengetahuan/teknologi. Minat dan kemampuan technopreneurship pun masih kurang. Akibatnya, kekayaan alam Indonesia yang melimpah tidak tergarap untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Situasi ini perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah dan dunia pendidikan.
Kini sejumlah perguruan tinggi berlomba-lomba memasukkan pendidikan kewirausahaan dalam kurikulum mereka. Beberapa perguruan tinggi bahkan mencanangkan diri sebagai entrepreneurial university. Universitas menyediakan inkubator bisnis sebagai pusat pembelajaran dengan iklim bisnis yang kondusif yang didukung oleh fasilitas laboratoriun yang memadai. Sinergi antara technopreneur sebagai inisiator bisnis, lembaga riset sebagai pusat inovasi teknologi baru, dan perusahaan modal ventura sebagai penyandang dana, menjadi faktor penentu keberhasilan.
Multimedia University (MMU) Malaysia merupakan salah satu entrepreneurial university, di mana mahasiswa strata satu yang sejak masuk hingga wisuda mendapatkan dorongan, pelatihan, dan dukungan untuk membangun start up bisnis. MMU juga mengembangkan entrepreneurship dan riset bernilai komersial yang melibatkan dosen dan mahasiswa pasca sarjana (Teh Pei-Lee dan Yong Chen-Chen, 2008).
MMU menerapkan pendekatan triple helix model (strategi kerjasama antara University (U), Government (G), dan Industry (I) secara efektif. Menurut pendiri Triple Helix Association, Henry Etzkowitz (2002), interaksi antara University, Industry, dan Government (U-I-G) adalah fondasi penciptaan dan/atau pengembangan kegiatan inkubator yang bersifat privat, publik, atau sosial, pusat penelitian dan modal ventura. Interaksi U-I-G adalah interaksi dalam masyarakat berbasis ilmu pengetahuan (knowledge-based society).
Perguruan tinggi lain yang berkomitmen menuju entrepreneurial university adalah National University of Singapore (NUS). Dengan misi ‘kembar’ perguruan tinggi yakni (1) mendidik warga negara serta (2) berkontribusi pada penciptaan pengetahuan baru melalui kegiatan penelitian dan pengembangan (R&D), NUS menambahkan misi ‘ketiga’ yakni mengembangkan kewirausahaan untuk merespon kebutuhan ekonomi Singapura dengan menciptakan industri berbasis pengetahuan/inovasi serta komersialisasi (Poh-Kam Wong et al, 2007).
Untuk menjadi entrepreneurial university, NUS menciptakan divisi atau organisasi baru yang disebut NUS Enterprise. Organisasi ini bertujuan memasukkan dimensi-dimensi entrepreneurship dalam aktivitas pendidikaan dan penelitian. Mereka mengangkat seorang profesor yang telah mengembangkan temuan-temuannya untuk dikomersialisasi sebagai CEO. CEO kedua adalah mantan pemodal ventura yang memiliki pengalaman riset dan start-up bisnis. NUS Enterprise berfokus pada internasionalisasi dan kolaborasi industri bi bidang riset dengan penekanan pada riset-riset yang berkualitas.
Komitmen NUS untuk menjadi entrepreneurial university diungkapkan oleh Prof Shih Choon Fong (2002): “NUS bercita-cita untuk berdiri di antara entrepreneurial universities. Ini sejalan dengan visi kami untuk menjadi perusahaan pengetahuan global (global knowledge enterprise). Kami telah mengambil langkah-langkah untuk menyuntikkan dimensi kewirausahaan. Kami telah mendirikan NUS Enterprise sebagai ‘a free enterprise zone’, di mana inovasi dan kewirausahaan dibebaskan dari aturan-aturan tradisional. ”
Untuk mencapai cita-cita itu, NUS mereformasi kebijakan universitas tentang komersialisasi teknologi dan pengembangan Entrepreneurship Centre dengan fungsi pendidikan, riset, jangkauan, dan dukungan usaha. NUS juga mengembangkan kerjasama inovasi dengan industri dan universitas di luar negeri di bidang lingkungan dan teknologi air, biomedis, serta interactive digital media.
Kebijakan ini didukung oleh tenaga dosen, peneliti dan mahasiswa yang mumpuni. NUS merekrut dosen dan peneliti asing dengan jumlah signifikan. Tahun 2006/2007, NUS memiliki 51% dosen asing dan 78% peneliti asing. Mereka juga merekrut mahasiswa-mahasiswa berbakat dari luar negeri, termasuk Indonesia. Mereka difasilitasi dan diberi beasiswa penuh. Selesai kuliah, mereka langsung ditampung di perusahaan-perusahaan besar di Singapura.
Dari sini kita bisa belajar bahwa untuk menuju Entreprenerial University dan membangun technopreneurship, perguruan tinggi perlu mentransformasi peran sebagai penyedia pendidikan dan pencipta ilmu pengetahuan dengan menambahkan peran komersialisasi ilmu pengetahuan dan berkontribusi pada pengembangan perusahaan. Untuk itu, perguruan tinggi harus meningkatkan otonominya, meningkatkan kualitas penelitiannya, dan membangun link dengan industri.
*Yohanes Widodo, dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta