Bernas Jogja, Selasa 3 Juni 2014
Oleh Ike Devi Sulistyaningtyas
Tulisan ini diawali dengan judul yang penuh keraguan-raguan. Hal tersebut ditunjukkan dengan menempatkan kata “masih” di antara tanda kurung buka dan tutup. Ragu-ragu, apakah Pancasila masih sakti sebagaimana dimaksudkan oleh para perumusnya dahulu. Sakti mengandung makn kedigdayaan, kekuatan dan kemampuan yang tidak terkalahkan. Itulah cita-cita perumus Pancasila yang tertuang dalam sila-silanya.
Tanggal 1 Juni menjadi momentum bagi bangsa Indonesia untuk kembali berefleksi di mana sebenarnya Pancasila ditempatkan. Jika benar Pancasila menjadi kesaktian bangsa ini, mengapa kekerasan, korupsi, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan masih merajalela? Tengok saja kejadian yang baru terjadi di Yogyakarta. Kekerasan yang menimpa seorang direktur penerbitan dalam kegiatan keagamaan yang dilakukan di rumahnya menjadi penanda hilangnya kesaktian Pancasila. Belum lagi jika dirangkai dengan peristiwa kekerasan lainnya , seperti penghentian paksa pemakaian Gua Maria di Gedangsari, penembakan tahanan di Lapas Cebongan, perusakan makam cucu HB VI, penembakan sipir LP Wirogunan, penganiayaan, dan masih banyak lagi. Sepertinya tidak akan habis catatan mengenai aksi-aksi yang mencederai rasa aman masyarakat.
Keadaan yang membelit rasa tidak aman makin memperburuk fase pertumbuhan bangsa ini. Setiap jiwa tanpa sadar mulai mengkhianati sila demi sila yang menjadi dasar kewarasan bangsa ini. Akhirnya, tak urung tibalah kita pada episode melankolis penuh kemurungan dan kemeratapan. Masyarakat selalu dihantui dengan ketakutan dan kesedihan tanpa pernah tahu bagaimana jalan keluarnya.
Pancasila tentu dilahirkan bukan untuk menjerumuskan kita pada fase kesedihan, namun justru menghidupkan karakter yang sungguh bersahaja. Jika saja kita bisa kembali memutar jarum jam dan melihat bagaimana para perumus Pancasila begitu berkobar dan bersemangat menuangkan segenap ide brilian demi tercapainya bangsa yang berkarakter, maka kita akan memiliki empati terhadap sejarah pengorbanan kelahiran pancasila. Persis seperti seorang ibu yang berjuang melahirkan sang bayi dari rahimnya dengan penuh kesucian.
Pancasila Harus Dijiwai Sejak Dini
Frekuensi tingginya tindakan yang meresahkan masyarakat, memanggil kita menyoal tentang bagaimana Pancasila dijiwai segenap individu di negara ini. Nilai-nilai Pancasila yang tertuang dalam kelima silanya seyogyanya menjadi parameter dalam berperilaku. Proses internalisasi sila-sila tersebut tidak dapat dilakukan seperti sulap yang mengutamakan rumusan kata-kata magis. Namun harus dilalui sebagai sebuah proses yang terus menerus diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari. Sekalipun manusia hidup bermetamorfosis, namun pada setiap fasenya harus tetap dinaungi roh Pancasila sehingga menjadi karakter yang kuat.
Karakter adalah watak yang didasari pada perilaku tertentu yang ditanamkan atau dipelajari. Proses penanaman dan mempelajari dibuat sedemikian rupa agar menjadi corak sejak individu kecil hingga dewasa. Sekalipun pendidikan di negara ini masih menorehkan ironi, namun semangat menanamkan nilai-nilai Pancasila sebagai roh dalam perilaku kita tidak boleh surut.
Pancasila selama ini masih diletakkan dalam konteks knowing (diketahui), bukan sebagai dasar berpikir kritis, analitis dan komprehensif. Pada akhirnya nilai-nilai Pancasila dalam berbagai ranah termasuk kancah pendidikan formal, hanya menjadi proses transfer pengetahuan yang membosankan. Padahal Pancasila dapat dikenalkan dengan cara-cara yang sangat sederhana.
Menanamkan nilai pada sila Ketuhanan yang Maha Esa tidak hanya memberikan wacana tentang jumlah dan nama agama di Indonesia, namun justru menekankan bagaimana nilai-nilai yang diajarkan Tuhan pada agama manapun itulah yang harus diwujudkan dalam bentuk konkrit. Ungkapan syukur kepada Yang Esa dapat dikenalkan melalui lagu ataupun dongeng tanpa label agama. Selanjutnya, sejak dini pula dikenalkan beragam kekayaan agama agar tidak muncul fanatisme dan sinisme terhadap agama lain.
Sila kedua dapat ditanamkan dalam kepedulian terhadap sesama yang sedang mengalami kesedihan. Bagaimana di usia yang sangat dini, kita mengenalkan rasa empati terhadap kesulitan-kesulitan orang lain dengan turut ambil bagian dalam mengulurkan bantuan baik moril maupun materiil.
Keberagaman masyarakat merupakan miniatur dari nilai yang dituangkan dalam sila ketiga. Perbedaan pada masyarakat dieksplorasi menjadi kekayaan yang harus dihargai dengan menuangkannya dalam bentuk pentas seni atau pameran budaya di level pendidikan dasar hingga menengah. Dengan demikian keunikan menjadi kekhasan yang dibanggakan, bukan lagi diperdebatkan.
Peran aktif anak dalam proses pengambilan keputusan di tengah keluarga, menjadi landasan pengamalan sila keempat. Dengan demikian seluruh insan dalam keluarga belajar bagaimana menghargai pendapat orang lain dan bertanggungjawab melaksanakan keputusan yang telah disepakati bersama.
Sementara sila kelima dapat ditanamkan dengan memberikan penghargaan dan kesempatan bagi segenap individu dalam setiap aktivitas tanpa memandang latar belakang status sosial atau kehidupannya. Hal ini memberikan wawasan tentang berkeadilan tanpa memandang perbedaan.
Perspektif, metode dan cara sebagaimana dituangkan dalam paparan sederhana di atas, sebenarnya adalah catatan kecil bagaimana mendapatkan makna Pancasila yang bukan hanya sekedar menghafalkan sila-silanya. Pancasila harus disinergikan dengan konteks kekinian dan tantangan problem masa depan yang makin beragam, dengan terobosan model penanaman nilai-nilai yang lebih luwes, lebih populer dan menarik untuk diejawantahkan.
Mengembalikan Kesaktian Pancasila
Belasan tahun sejak nafas reformasi dihembuskan, belum juga dapat dirasakan roh Pancasila yang menjadi kekuatan dasar dalam menyusun Indonesia yang sedang membenahi diri dari kerapuhannya. Dengan kata lain ketidakmampuan kita memecahkan banyak problem di negara ini disebabkan karena belum mampunya kita merawat warisan terbaik para pendahulu. Pancasila sebagai warisan sekaligus karakter bangsa dibiarkan mengalami pengabaian.
Sebagai warisan yang digali dan dirumuskan bersama, Pancasila diyakini sebagai bintang pemimpin, dasar falsafah dan alat pemersatu, sebagaimana pernah disampaikan Bung Karno (Widodo, 2012). Pancasila harus dikembalikan sebagai ideologi yang terbuka dan dapat dikembangkan seturut kemajuan jaman sebagai wacana ilmiah. Pancasila adalah jati diri bangsa Indonesia, bukan alat untuk mendoktrin warga negara dengan berbagai bentuk keseragaman. Selain itu Pancasila harus dibebaskan dari legitimasi kekuasaan kelompok tertentu yang dipakai demi menekan kelompok lain. Pada saat Pancasila dikembalikan pada entitasnya sebagai dasar perikehidupan dan pemersatu bangsa, maka jaminan 100% bagi kembalinya kesaktian Pancasila akan menjadi nyata. Pada saat inilah Pancasila kembali menjadi pedoman dalam berperilaku, memupuk rasa nasionalisme, menguatkan rasa sadar tentang kemajemukan bangsa, dapat bersikap inklusif dan humanis, serta membangun sikap cinta tanah air. Oleh karena itu keragu-raguan mengenai kesaktian Pancasila sebagaimana tertuang di awal tulisan ini, pada akhirnya akan diurai oleh jawaban sederhana yang akan menjadi sebuah kepastian dan keyakinan. Jawaban berawal manakala setiap insan di negara ini memiliki kemauan mengamalkan nilai-nilai luhur bangsanya yang terkandung dalam Pancasila. Inilah kesaktian Pancasila!
*Ike Devi Sulistyaningtyas, M.Si, dosen Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta