Nilai Rasa Kemerdekaan di Lapas

Bernas Jogja, Selasa 27 Agustus 2013

Oleh: Theresia D. Wulandari*

Saat ini kabar mengenai tekanan nilai Rupiah terhadap Dollar barangkali jadi topik paling hangat untuk diperbincangkan, di tengah maraknya kasus korupsi sejumlah pejabat negara. Namun publik jangan lupa, masih banyak persoalan yang perlu diangkat dan terus dikawal untuk menjaga stabilitas negara ini di 68 tahun usia kemerdekaan pada 17 Agustus lalu. Kecuali melemahnya rupiah, proses hukum atas kasus korupsi para pejabat negara, suksesi Pilpres 2014, dan kasus-kasus kriminal lain, ada lagi persoalan yang seakan “hilang” dan dianggap sekedar bumbu berita media massa. Apa kabar kasus-kasus di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) negara ini?

Ya, kemerdekaan memang menjadi hak segala bangsa, tidak terkecuali hak  mendapatkan kemerdekaan bagi warganegara yang terpenjara di balik jeruji besi. Sesuai Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2006 jo. Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan, setiap narapidana yang memenuhi syarat berhak mendapatkan remisi, asimilasi, cuti menjelang bebas, dan pembebasan bersyarat. Namun tidak demikian dengan para narapidana di Lapas Kelas II A Labuhan Ruku, Kabupaten Batubara, Sumatera Utara. Akibatnya, protes beberapa napi yang tidak mendapat remisi diduga menjadi penyebab kebakaran Lapas pada Minggu sore, 18 Agustus 2013. Sebanyak 30 napi melarikan diri.

Sebulan sebelum kejadian Lapas Labuhan Ruku, kebakaran  juga terjadi di Lapas Kelas I Tanjung Gusta, Medan. Tepatnya 11 Juli 2013, gedung lapas dibakar beserta seluruh dokumen dan surat-surat penting milik narapidana hingga merenggut nyawa lima korban jiwa. Pemicunya diduga kemarahan ribuan warga binaan akibat padamnya listrik sejak subuh hingga malam. Protes tidak berhenti sampai di situ karena Kamis malam, 25 Juli 2013, di Lapas Tanjung Gusta kembali terjadi keributan kecil  saat para narapidana meminta bebas.

Ketidakmerdekaan seakan menjadi akar persoalan di Lapas Tanjung Gusta dan Labuhan Ruku hingga menyebabkan kerusuhan. Sama halnya kerusuhan dua kelompok penghuni yang terjadi di Lapas Kerobokan, Denpasar, Bali  21 Febuari 2012 dan Lapas Salemba  21 Januari 2013. Keterbatasan mendapatkan kemerdekaan atas hak-hak mereka sebagai sesama penghuni napi, membuat satu kelompok satu dengan kelompok yang lain saling bertikai hingga menimbulkan kerusuhan.

Dengan memberontak dan menyuarakan hak-hak mereka, para penghuni lapas ini berharap kemerdekaan asasi mereka sebagai manusia didapatkan, sama halnya dengan kemerdekaan yang sudah didapatkan negara ini 68 tahun silam. Seperti disampaikan pemimpin revolusi Amerika Benjamin Franklin, whoever would overthrow the liberty of a nation must begin by subduing the freeness of speech. Siapapun yang hendak mengupayakan kemerdekaan bangsanya harus terlebih dahulu mengatasi ketakutan untuk mengemukakan pendapat. Namun ternyata kemerdekaan mengemukakan pendapat itu tidak berbanding lurus dengan kemerdekaan yang mereka harapkan. Apalagi di balik dinginnya dinding lapas, kemerdekaan menjadi sesuatu yang mustahil dirasakan.

Namun dua kasus besar dalam lapas lainnya, seakan menafikan pendapat tersebut. Awal Agustus tahun ini, Polisi menemukan dua kasus yang mengejutkan. Pertama, ditemukannya pabrikan narkoba di Lapas Narkotika Cipinang, Jakarta Timur. Yang lebih mengejutkan, seorang sipir diduga terlibat dengan menjadi kurir narkoba. Lapas Narkotika yang seharusnya menjadi lembaga negara yang mendidik para warga binaan untuk jauh dari narkoba, justru menjadi gudang pabrikan barang haram itu.

Kedua, temuan Menkumham Amir Syamsudin saat sidak ke Lapas kelas II A Narkotika Cipinang  5 Agustus  adanya kegiatan pembuatan dan pesta narkoba di dalam lapas. Selain itu ada pemberian fasilitas bagi gembong narkotika Freddy Budiman di LP Cipinang berupa  ruangan khusus bagi Freddy dan seorang model bernama Vanny Rossyane untuk memadu asmara. Bahkan menurut pengakuan Vanny, terpidana mati itu menjalankan bisnis haramnya dari balik jeruji besi. Beberapa kali mereka juga berpesta shabu di ruang pejabat LP Cipinang kala itu, Thurman Hutapea.

Beberapa kasus yang terjadi di lapas tersebut sama-sama memiliki konsep kemerdekaan meski dimaknai berbeda pada nilai rasanya. Pada kasus Lapas Labuan Ruku, Tanjung Gusta, Salemba, dan Kerobokan, kemerdekaan mengacu pada hak asasi mereka sebagai warga negara yang menginginkan persamaan dalam hak, meski berada di balik jeruji besi. Pada kasus Lapas Cipinang dan Lapas Narkotika Cipinang, kemerdekaan diartikan sebagai kesewenang-wenangan seseorang atau individu untuk berkehendak. Kemerdekaan berkehendak ini seperti dianut aliran ancient regime di Perancis pada abad ke-18, di mana salah satu ciri kemerdekaan diartikan  kemerdekaan  menentukan apa yang akan dilakukan setiap orang atau individu (kebebasan kehendak manusia). Namun  hal ini tidak bisa jadi pembenaran karena kemerdekaan di sini harus tetap berpatokan pada justice model yang sangat memerhatikan aspek keadilan bagi masyarakat. Nilai rasa kemerdekaan di sini tidak menilai keadaan diri pribadi pelaku, namun aspek keadilan bagi masyarakat.

Maka dalam kasus penembakan di Lapas Cebongan, polemik tetap saja bergulir di kalangan masyarakat Yogyakarta. Muncul dualisme pendapat. Satu pihak  menuntut rasa keadilan atas kematian empat korban penembakan di Lapas Cebongan Sleman Yogyakarta 23 Maret 2013, di pihak lain membela para eksekutor. Pihak pembela berpendapat para eksekutor berjasa atas Yogyakarta karena keempat korban penembakan adalah pelaku pengeroyokan dan disebut-sebut sebagai kelompok preman. Sementara ke-12 eksekutor ini adalah putra-putra terbaik Kopassus yang membela komandan regu mereka di Kandang Menjangan Kartasura, Heru Santoso, yang tidak lain adalah korban pengeroyokan di Hugo’s Cafe.

Namun pihak yang  menuntut rasa keadilan berpendapat bahwa bagaimanapun  para warga binaan lapas tetap memiliki kemerdekaan  merasa aman tinggal dalam lapas, termasuk keempat “preman” itu. Hal ini sesuai dengan butir Pasal 5 Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang menyebutkan bahwa sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan  asas pengayoman atau perlindungan.

Dualisme pendapat itu muncul, sama halnya ketika satu kelompok menerjemahkan nilai rasa kemerdekaan di banyak Lapas. Satu pihak menganggap Lapas sebagai pembatas kemerdekaan atas hak-hak asasi mereka sebagai manusia, di pihak lain lapas sebagai ruang aman untuk mengekspresikan keinginan mereka, termasuk untuk melakukan tindakan penyimpangan. Maka tidak heran banyak aksi kejahatan justru marak di dalam lapas itu sendiri.

*Tenaga Pengajar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Search

Pengumuman