Bernas Jogja, Selasa, 4 Maret 2013
Oleh: Dina Listiorini
Tulisan ini untuk memperingati International Women’s Day (IWD) atau Hari Perempuan Sedunia setiap 8 Maret. Hari tersebut dirayakan oleh perempuan di seluruh dunia dengan beragam kegiatan. Tahun ini (International Women’s Day) tercatat 1009 kegiatan di seluruh dunia dengan Inggris sebagai negara yang memiliki kegiatan terbanyak (338), Australia (158), Amerika Serikat (146), Kanada (123) dan India (38), dan ratusan negara lain. Indonesia memiliki tiga agenda. PBB sebagai organisasi internasional juga memperingati IWD dan memberikan tema menarik setiap tahun sejak 1996. Tema 2013 IWD PBB adalah A Promise is a Promise: Time for Action to End Violence Against Women. Sedangkan IWD 2013 bertema The Gender Agenda: Gaining Momentum. Di Inggris, Kuba, Afghanistan, Laos dan 24 negara lain, IWD telah menjadi hari libur resmi. Di China, Madagaskar dan Macedonia, libur tersebut hanya untuk perempuan.
IWD menarik karena lahir sebagai bagian dari kegiatan politik partai di penghujung abad 19. Pada 1869 John Stuart Mill menjadi orang pertama di Parlemen Inggris yang meminta perempuan memberikan suaranya. Empatbelas tahun kemudian, Selandia Baru menjadi negara pertama di dunia yang memberikan hak pilih pada perempuan. Hal ini menginspirasi perempuan memperjuangkan hak-hak mereka. Perayaan IWD dicetuskan Clara Zetkin, anggota Partai Sosialis Demokrat Jerman tahun 1910. Pada 19 Maret 1911, dan bukan 8 Maret, IWD pertama diadakan dan dirayakan melalui berbagai kegiatan. Kegiatan paling populer terutama di Jerman dan Austria adalah demonstrasi para perempuan dan tulisan berbagai artikel di media massa yang menuntut hak berpolitik. Pada 1913 peringatan IWD dialihkan ke 8 Maret hingga saat ini.
One Billion Rising: Perkosaan bukan lelucon!
One Billion Rising (OBR) sesungguhnya tidak terkait langsung dengan IWD dalam skala internasional. OBR muncul 14 Februari 2013 sebagai gerakan mobilisasi perempuan sedunia untuk melawan kekerasan yang menimpa mereka. Ide tentang OBR dicetuskan aktivis Eve Ensler yang terkenal dengan karyanya Vagina Monologue. Gerakan OBR diilhami komentar kontroversial Todd Atkin, senator Partai Republik di Missouri, yang berkata bahwa perkosaan terhadap perempuan itu bisa saja sah dilakukan. Gerakan OBR serentak dilakukan di seluruh dunia 14 Februari lalu dengan aksi seni seperti menari, menyanyi dan membaca puisi yang dilakukan secara massal. Aksi-aksi ini didokumentasikan melalui foto dan video yang diunggah serentak ke seluruh dunia melalui dunia maya.
Perkosaan dan pelecehan terhadap perempuan adalah beberapa bentuk kekerasan yang umum dialami perempuan. Setidaknya bila satu dari tiga perempuan di seluruh dunia pernah diperkosa, maka dari 7 milyar penduduk dunia, secara kasar dapat diperkirakan setidaknya satu milyar perempuan pernah menjadi korban pemerkosaan. Dari angka inilah kampanye OBR berawal. Gerakan didukung setidaknya 5000 organisasi di seluruh dunia termasuk para bintang Hollywood. Robert Redford, salah satu artis yang bergabung dalam gerakan OBR mengatakan kekerasan terhadap perempuan bukanlah sekedar isu tentang perempuan, namun sudah menjadi krisis global. Kasus yang menjadi pembicaraan internasonal adalah perkosaan seorang perempuan India di bis kota pada 16 Desember 2012 yang dilakukan para penumpang pria termasuk sopir. Perempuan ini diperkosa hingga mengalami luka yang sangat serius sampai akhirnya meninggal.
Persoalan perkosaan menjadi rumit karena istilah perkosaan sendiri kadang dianggap sebagai bahan lelucon atau olok-olok. “Awas, jangan dekat-dekat aku, nanti kamu tak perkosa, lho” adalah lelucon yang kerap terdengar, bahkan populer menjadi lawakan artis di televisi. Dengan kata lain perkosaan telah menjadi konsumsi populer publik melalui berbagai program televisi. Hal inilah yang disebut Laura Mulvey dalam tulisannya Visual Pleasure and Narrative Cinema (1973) sebagai male gaze atau sudut pandang laki-laki. Menurut Mulvey, di media perempuan “diperkosa” dua kali. Sekali saat proses produksi, dan saat dinikmati oleh jutaan pemirsa di televisi. Kata-kata “Rape is Not a Joke!” juga menjadi salah satu isu yang dibawa dalam gerakan OBR.
Di Indonesia, OBR dilakukan tepat 14 Februari di beberapa kota besar seperti Jakarta, Surbaya, Makassar, Semarang, Yogyakarta, Denpasar juga di Magelang, Malang dan Poso. Aksi flash mob adalah kegiatan terbanyak. Di situs One Billion Rising Indonesia terdapat ratusan kegiatan OBR yang berlangsung di berbagai kota di Indonesia.
Melawan Ideologi Patriarki
Permasalahan yang dihadapi perempuan di seluruh dunia selalu sama: diskriminasi yang berujung pada kekerasan dalam berbagai bentuk dan situasi. Kekerasan yang dialami Ibu Siami dari Surabaya, misalnya. Ia dan keluarganya diusir seluruh warga di kampungnya karena ia melaporkan tindakan mencontek oleh anaknya atas paksaan guru sekolah dan menceritakannya pada media. Tindakan itu dianggap sesuatu yang mencemarkan nama sekolah dan kampung. Ibu Siami, dalam laporan Komnas HAM dianggap bertindak sok pahlawan dan membesar-besarkan masalah karena mencontek adalah hal yang biasa dilakukan oleh murid.
Kekerasan juga diterima jurnalis perempuan Metro TV, Luviana. Ia diberhentikan sepihak tanpa penjelasan karena mengkritik pembagian gaji dan melaporkan atasannya ke Polda Metro Jaya. Dua kasus tersebut adalah contoh dari kekerasan yang dialami oleh perempuan. Belum lagi kisah perkosaan terhadap penumpang angkutan umum di Jakarta seperti KRL, angkot atau taksi.
Kampanye melawan tindak kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan para kelompok feminis dari berbagai aliran agaknya berujung pada satu hal yang sama, yakni ideologi patriarki di mana laki-laki dalam berbagai diskursus seolah memiliki dominasi dan kekuasaan atas perempuan. Bukan hal yang mudah dilawan mengingat praktek ideologi patriarki yang beragam dan telah mengakar dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Menampar istri, sunat perempuan, pernikahan di bawah umur di sebagian masyarakat bahkan tidak dianggap sebagai tindak kekerasan. Di India, sudah menjadi hal jamak bila keluarga miskin akan mengantarkan anak perempuannya yang masih perawan ke rumah bordil untuk dijual demi membiayai sekolah saudara laki-lakinya atau memberi makan keluarganya.
Selamatkan Perempuan dari Tindak Kekerasan
Baik peringatan IWD, gerakan OBR atau bahkan International Day for the Elimination of Violence Against Women yang ditetapkan Majelis Umum PBB setiap 25 November menguatkan pernyataan Robert Redford sebagai “krisis global” tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan perempuan adalah kekerasan struktural yang banyak diabaikan oleh negara. Di Indonesia misalnya, sangat disayangkan bahwa pejabat pemerintah seperti mantan Gubernur DKI Jakarta beberapa waktu lalu menyatakan perkosaan di angkot adalah kesalahan perempuan berbusana minim; atau tindakan Aceng, mantan Bupati Garut yang menceraikan istrinya karena dianggap tidak perawan. Salah satu upaya mengurangi tindak kekerasan struktural adalah melalui kebijakan sensitif gender. Hal ini dapat terlaksana bila dalam tubuh pemerintahan terdapat politisi perempuan yang memperjuangkan hak-hak perempuan.
Studi Leya Cattleya untuk The Asia Foundation (2010) menunjukkan sejak Pemilu 1955 hingga 2009, grafik partisipasi perempuan dalam politik bergerak lamban untuk mencapai kuota 30%. Sebetulnya penting bagi perempuan terlibat dalam politik praktis karena hal tersebut berdampak pada pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan perempuan antara lain mengusulkan program sensitif kebutuhan perempuan. Kebijakan perusahaan menyediakan mobil khusus antar jemput bagi pegawai perempuan misalnya dapat diberlakukan secara nasional. Demikian pula angkutan umum seperti bus, angkot atau trem khusus bagi perempuan, anak perempuan dan ibu hamil. Kebijakan tersebut diharapkan mengurangi kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan seperti perkosaan atau pelecehan. Perempuan pengambil keputusan dapat menetapkan kebijakan mendasar bagi perempuan, misalnya pendidikan politik bagi perempuan atau pendidikan seks komprehensif yang diajarkan secara formal di sekolah.
Meski Indonesia telah meratifikasi CEDAW sejak tahun 1980 dan diundangkan melalui UU No 7 tahun 1984, namun agaknya negara mengarahkan gerakan dan organisasi perempuan pada tataran domestik. Pembentukan organisasi Dharma Wanita di kalangan pegawai negeri sipil dan organisasi PKK di tingkat rumah tangga yang dijalankan secara masif di seluruh Indonesia menurut sosiolog Julia Suryakusuma tak lebih dari hegemoni patriarki yang memberikan praktek “pengiburumahtanggaan” dan “ibuisme negara” (state ibuism). Organisasi Dharma Wanita tak lebih dari organisasi perempuan yang melestarikan budaya “ikut suami”. Demikian pula PKK yang lebih banyak berkegiatan di sektor domestik tanpa adanya kekritisan berarti.
Dekade 1980an masa Orde Baru mempopulerkan istilah ‘peran ganda perempuan’. Tulisan Julia di majalah Prisma tahun 1989 mengistilahkan peran ganda perempuan itu seperti layang-layang yang dikendalikan oleh laki-laki. Setiap kali melayang terlalu tinggi, ia kemudian ditarik dengan alasan “untuk tidak melupakan kodrat sebagai perempuan”. Namun apakah agenda politik perempuan akan berhenti begitu saja? Tentu saja tidak. Kementrian Pemberdayaan Perempuan yang memiliki kantor di setiap provinsi di Indonesia dan Komnas Perempuan sebagai lembaga resmi negara, UU KDRT, konsep pengarusutamaan gender untuk setiap program pemerintah yang lahir di era reformasi adalah beberapa bentuk kemenangan perempuan Indonesia. Tentu tidak bisa berpuas diri karena masih perlu dipertajam lagi untuk benar-benar dapat menghapus tindakan kekerasan terhadap perempuan Indonesia. *
Dina Listiorini, staf pengajar FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta.