Pers Kuliti Capres?

 

Dr Lukas S Ispandriarno

Analisis Kedaulatan Rakyat, Jumat, 14 Februari 2014

MEMERINGATI Hari Pers 2014, Menteri Komunikasi dan Informasi Tifatul Sembiring yang jarang tampil di media mengingatkan empat fungsi pers yakni pemberi informasi, hiburan, edukasi dan kontrol sosial. Kebanyakan media menitikberatkan fungsi informasi dan hiburan sedangkan fungsi edukasi dan kontrol sosial kurang diperhatikan. Dalam menjalankan fungsi kontrol: “Kamera dan tulisan pers bisa diarahkan menghasilkan pemimpin yang baik. Pers harus bisa menguliti siapa calon pemimpin yang baik.” Dari sisi edukasi pers bisa menggunakan pilihan kata dan bahasa yang baik. Sedangkan dalam fungsi kontrol sosial, pers mesti kritis dan komprehensif memberikan informasi rekam jejak calon pemimpin.

Menjelang pemilihan anggota legislatif (pileg) bulan April dan pemilihan presiden (pilpres) bulan September, pers berperan makin penting. Meski belum saatnya, pers telah dimanfaatkan sebagai ajang kampanye calon legislatif (caleg) dan calon presiden (capres). Dari kedua kelompok calon pemimpin tersebut, media lebih suka menampilkan kelompok kedua (capres) karena jumlahnya tak banyak, selain itu, isu capres jauh lebih menarik. Beberapa peminat capres kerap memunculkan diri di medianya sendiri. Media, kecuali di tingkat lokal, kurang menghadirkan caleg karena jumlahnya amat banyak.

Dalam perkara capres, sesungguhnya tiga ragam media telah menjalankan fungsi edukasi dan kontrol sosial. Media tersebut adalah penyiaran (televisi dan radio), cetak (koran dan majalah) serta internet (media dalam jaringan dan media sosial). Sebagai media massa dengan khalayak terbanyak, televisi punya akses menjangkau masyarakat di berbagai pelosok. Berpegang pada Undang-undang Penyiaran No 32 tahun 2002, televisi memainkan fungsi pendidikan dan pemantau sosial. Anehnya, kini semakin banyak pendapat mengatakan sebagian besar acara televisi adalah sampah, tidak bermutu. Ironisnya, khalayak tetap terbius acara televisi seperti Yuk Keep Smile, meski muncul penolakan, misalnya di situs change.org.

Media televisi memang paling bermasalah. Apalagi karena tiga kelompok perusahaan dimiliki tiga politisi yang getol memamerkan diri sebagai capres. Politisi sekaligus pemilik perusahaan media yang telah mendeklarasikan diri sebagai capres maupun yang masih menunggu waktu, tidak malu-malu tampil dalam sejumlah program, termasuk sinetron. Memang, perjuangan menjadi presiden perlu semangat tinggi, menempuh berbagai cara, sayangnya ada yang melanggar etika media. Televisi penayang capres di ‘Tukang Bubur Naik Haji’ telah ditegur Komisi Penyiaran Indonesia. KPI juga mengeluarkan teguran kepada tiga perusahaan media televisi.

Anett Keller (2009:105) dalam riset empat media cetak nasional menemukan indikasi, pemilik media yang sekaligus pengusaha cenderung mendahulukan kepentingan golongannya ketimbang kepentingan umum, dibandingkan dengan pemilik yang sekaligus wartawan. Artinya, di perusahaan media di mana campur tangan terhadap otonomi redaksi sangat jelas, pemilik medianya tidak memiliki latar belakang jurnalistik. Riset Anett berlaku di media penyiaran, di mana hampir semua perusahaan televisi dikuasai pengusaha bahkan sekaligus politisi. Di sinilah momentum kritik saat Hari Pers di Bengkulu. Sejumlah perusahaan media televisi melanggar Pasal 36 (4) UU Penyiaran yang menyatakan isi siaran wajib dijaga netralitasnya serta tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu. Lagi pula, perusahaan media televisi memanfaatkan frekuensi yang menjadi milik publik seolah milik sendiri.

Media cetak dan daring kerapkali mengedukasi khalayak dengan menyajikan hasil jajak pendapat maupun visi sejumlah capres. Bila dikelompokkan, para capres dapat dibagi ke dalam kategori sosok lama yang dalam khazanah politik sering disebut traditional politicians atau trapos. Mereka adalah orang-orang lama yang sudah berkecimpung di dunia politik setidak sejak zaman Orde Baru hingga Era Reformasi. Antara lain menduduki jabatan wakil presiden, menteri, petinggi militer, ketua partai, termasuk tokoh tenar, yang usianya di atas enam puluh tahun. Kelompok kedua adalah sosok baru yang berlatarbelakang politisi, pengusaha, intelektual dan usianya di bawah lima puluh tahun. Hasil berbagai jajak pendapat yang dilaporkan media menunjukkan sosok dari kelompok kedua lebih populer, lebih unggul, lebih disukai responden.

Seperti diusulkan Menkominfo, pers memang perlu menampilkan rekam jejak calon pemimpin. Berdasar semangat independensi, pers mesti melacak sendiri catatan para tokoh tersebut dari berbagai dokumen dan melengkapinya dengan wawancara serta observasi mendalam. Lalu, melaporkan kepada publik secara komprehensif dengan kata-kata yang baik, sopan, mendidik. Kiranya kata menguliti bukan pilihan yang pas untuk menyorot para tokoh, sebab kata ini lazim dipakai untuk binatang, buah atau pohon. Kalaupun untuk manusia itu ada di zaman barbar.

(Dr Lukas S Ispandriarno. Dosen FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta)

Search

Pengumuman