Bernas Jogja, Selasa 27 November 2012
Oleh Nobertus Ribut Santoso
Sangat tidak asing bagi kita mendengar ungkapan “Don’t Judge the Book by Its Cover”. Namun, dalam berpenampilan, ungkapan ini mulai ditinggalkan. Sebagai contohnya ketika seorang laki-laki mau menemui seorang wanita yang dianggapnya spesial, dia akan berpenampilan semenarik mungkin karena dia tidak ingin jika wanita tersebut memandang sebelah mata karena penampilannya tidak menarik. Jadi, tidak mengherankan jika laki-laki dewasa ini bisa menghabiskan waktunya bermenit-menit untuk berdandan dengan meniru style rambut yang trend, memakai pelembab muka dan lotion agar kulitnya tidak kusam, dan memakai parfum agar aroma tubuhnya menjadi harum. Hal tersebut dilakukan karena wanita mulai menilai kepribadian seseorang dari penampilan.
Itulah gambaran pria modern dewasa ini. Pria yang dulunya dikenal sebagai sosok yang berbadan kekar, kuat, berkumis, dan bahkan berjenggot, oleh adanya modernisasi, globalisasi, dan media, telah didorong lebih memperhatikan penampilan. Media telah menjejali konsep “pria ideal” kepada audiennya. Konsep tersebut lebih dikenal sebagai metroseksual, pria yang suka menonjolkan penampilannya. Media berperan sangat besar dalam mempengaruhi audiennya, bagaimana mereka seharusnya berpenampilan.
Metroseksual tidak selalu menjadi stereotype misalnya gay walaupun mereka adalah pria yang suka berdandan. Adlin Alfathri (2006) menyatakan bahwa metroseksual merupakan seksualitas baru yang lahir dari praktek visual seksualitas dan tubuh yang membentuk penampilan dan pada akhirnya memperoleh atribut-atribut seksualitasnya sendiri. Atribut tersebut merupakan ciptaan dari masyarakat yang pada akhirnya membudaya.
Simpson (1994) memberikan definisi pria metroseksual sebagai pria muda mapan yang hidup di daerah perkotaan sehingga dapat dengan mudah mengakses tempat-tempat yang dapat menunjang penampilan seperti butik, klub, gym, dan penata rambut profesional. Mereka adalah pria, gay, atau pun biseksual yang memiliki bidang pekerjaan seperti model, media, musik, dan olahraga. Mereka sangat memperhatikan penampilan dan terlihat “cantik” dalam setiap penampilannya. Menurut Jo Bowman (2004), pria metroseksual menggemari pakaian desainer, menggunakan perawatan kulit malam hari secara serius, dan senang berbelanja, sehingga pria metroseksual dapat dengan mudah ditemui di kota-kota metropolitan atau wilayah urban.
Pria Metroseksual di Indonesia
Belakangan ini, kata metroseksual makin popular di media massa dan telah menjadi perbincangan di hampir semua lapisan masyarakat. Kontroversi seputar pria metroseksual pun semakin merebak dan sengit sehingga menyulut perdebatan terbuka di media karena domain pria metroseksual dianggap sebagai tanda pergeseran terhadap domain konservatif maskulinitas. Akan tetapi, banyak pihak yang justru memanfaatkannya sebagai lahan bisnis karena pria metroseksual adalah pria yang serba kecukupan dan merupakan konsumen setia. Mereka adalah market dream yang selama ini diimpi-impikan para kapitalis.
Di beberapa kota metropolis seperti Jakarta, Surabaya, dan beberapa kota lain pertumbuhan jumlah pria metroseksual semakin terasa. Hal ini dikarenakan, pada umumnya mereka adalah pria berduit yang menggandrungi belanja barang-barang mahal dan bermerek, melakukan perawatan di salon-salon mewah, nongkrong di café-café mewah, fitness, dan tidak mau ketinggalan model fashion terbaru.
Hasil survei MarkPlus & Co November-Desember 2003 bertajuk Future of Men, Study in Indonesia dengan melibatkan 284 responden pria di Jabotabek: Jakarta (43,3%), Bogor (10,1%), Tangerang (14,5%), Bekasi (15,9%), dan Depok (16,2%), status sosial-ekonomi responden diwakili kelas A++ (89,5%), A+++ (8,4%), dan A++++ (2,1%), usia responden berkisar 26-55 tahun memaparkan, tidak ada salahnya pria melakukan facial, mani/pedi bahkan beroperasi plastik untuk memperbaiki penampilan. Dalam dunia bisnis, berdandan secara menarik merupakan hal yang penting bagi pria masa kini, bahkan, sebagian responden menilai pria berpenampilan menarik akan lebih berhasil di dunia bisnis daripada pria yang berpenampilan tidak menarik.
Kepentingan ekonomi bisa saja menjadi faktor utama tumbuhnya laki-laki metroseksual karena karakter orang Indonesia yang selalu mengikuti trend terbaru dan selalu ingin tampil seperti idolanya walaupun produk-produk yang ditawarkan dalam iklan di media tersebut kurang sesuai dengan budaya Indonesia, budaya timur.
Keuntungan bagi Kapitalis
Tampilnya para pria yang sangat menghargai penampilan, selalu merawat dirinya, hadir di layar televisi, sangat mempermulus langkah kapitalis untuk mempengaruhi pria agar meniru idolanya. Hal ini semakin memperkuat konsep metroseksual di tengah masyarakat. Fenomena metroseksual tersebut terus digarap secara agresif oleh para kapitalis, yang segera menciptakan dan memasarkan produk-produk perawatan tubuh (grooming) seperti after shave lotion, wangi-wangian, facial pembersih dan pelembab wajah, pewarna rambut, dan pernak-pernik lainnya sebagai pendukung penampilan bugar dan menawan.
Tampil grooming merupakan hal yang sangat penting bagi pria dewasa ini saat berinteraksi, khususnya ketika bertemu dengan seorang wanita karena wanita dewasa ini sangat memperhatikan penampilan seorang pria. Hal ini dikarenakan wanita mengartikan grooming sebagai bentuk penghargaan atau kecintaan terhadap diri sendiri, wanita menyukai pria yang cinta dan menghargai dirinya sendiri (Que, 2010). Wanita beranggapan, bagaimana mungkin seorang pria bisa mencintai mereka jika dirinya sendiri saja tidak mereka cintai. Untuk menghindari stigma bahwa pria yang melakukan perawatan tubuh adalah homoseksual, para kapitalis melabeli produk grooming dengan ”for men”.
Peran Media
Iklan-iklan produk-produk grooming telah membanjiri semua media. Pria, mau atau tidak mau, seperti dipaksa meninggalkan budaya lama dan mengikuti budaya baru untuk menjadi pria ”ideal”. Peran media sangat besar dalam menciptakan konsep pria ideal melalui iklan sehingga para kapitalis dengan sengaja menciptakan budaya baru tersebut untuk memasarkan barang-barang produksinya. Olehnya, barang-barang yang tadinya hanya sekedar kebutuhan sekunder diciptakan menjadi barang kebutuhan primer.
Dampak dari tayangan iklan di media adalah bertambahnya jumlah pria lembut yang sadar akan penampilan sehingga menjadi ladang sangat empuk bagi kapitalis untuk menciptakan produk-produk kosmetik baginya. Akhirnya, melalui media, para kapitalis menciptakan hedonisme bagi pria-pria “ideal” ini. Menurut Thomson (1996), media massa memiliki peran yang sangat kuat mengenai ukuran standar ideal secara fisik, media berperan mengkomunikasikan harapan ini kepada masyarakat.
Tidak hanya iklan di media yang turut mewacanakan pria “ideal” para bintang film dan penyanyi pun kebanyakan selalu tampil dandy dalam setiap acara di televisi dan syutingnya. Media tidak pernah mendorong pria-pria untuk memiliki tubuh yang tidak ideal (krempeng atau gemuk), berpenampilan kusut, dan berambut acak-acakan. Hal ini semakin mempermulus usaha kapitalis untuk semakin menancapkan paradigma pria “ideal” baru kepada khalayak. Konsep ini sebenarnya sudah lama diincar oleh para kapitalis sesudah mengekomodifikasi setiap bagian tubuh perempuan.
Dalam konteks globalisasi, media yang mencoba menghadirkan realita, berperan penting dalam transmisi produk-produk budaya seperti fashion dan gaya hidup. Transmisi produk budaya ini semakin mempertegas tertembusnya batas-batas lokalitas suatu budaya yang memunculkan konteks budaya global dengan nilai-nilai global pula. Konten ‘dewasa’ dalam nilai budaya ketimuran masih tabu untuk dieksploitasi secara terang-terangan seperti menampilkan banyak gambar wanita berpakaian minim dan pria-pria yang selalu berpenampilan dandy ala barat. Tujuannya adalah sebagai sumber inspirasi atau membuka wawasan tentang kehidupan di negara-negara barat tersebut, namun sebagian besar masayarakat Indonesia belum paham bagaimana memilah atau membuat filter yang sesuai dengan budayanya sendiri sehingga tidak sedikit dari masyarakat yang ’menelan’ mentah-mentah budaya barat dalam kehidupannya.
*Nobertus Ribut Santoso, dosen Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP, Universitas Atma Jaya Yogyakarta