Bernas Jogja, Selasa, 1 Oktober 2013
Oleh Setio Budi HH
Apabila dicermati, pemberitaan mengenai kekerasan mulai kembali tinggi intensitasnya. Kekerasan yang dimaksud sebenarnya tidak hanya bersifat fisik namun juga verbal, yang dapat diamati dari berbagai pemberitaan media dan media sosial. Dari urusan Pilkada yang disertai perkelahian antar pendukung sampai pembakaran fasilitas publik berlanjut pada kasus “Cebongan” sampai aksi penembakan terhadap aparat Polri. Ada pula peledakan “bom” di beberapa tempat.
Pada tataran lebih bawah, di akar rumput, tawuran antar pelajar, antar kampung dan antar desa masih berlangsung. Celakanya, banyak tawuran yang terjadi hanya karena masalah sepele atau tidak jelas duduk perkaranya. Dari sekian pelakunya adalah kaum terpelajar seperti anak SMP, SMA dan mahasiswa. Pada sisi lain, masih terlihat juga fenomena kekerasan yang menggunakan baju agama, termasuk kekerasan yang diduga terorganisir.
Menurut Coppel (2006) Indonesia memiliki pengalaman kekerasan dalam skala besar. Jika meruntut sejarah, baik peristiwa G 30S PKI tahun 1965-1966 dan berbagai peristiwa konflik di berbagai wilayah (termasuk Aceh, Papua, Timor Timur) ini adalah bagian dari “budaya” konflik. Walaupun demikian Coppel buru-buru mengatakan bahwa faktor VOC adalah juga bagian penting dari sejarah konflik dan kekerasan di Indonesia. Perjalanan konflik SARA, perkembangan jatuh bangun kerajaan-kerajaan di Nusantara dan rejim pemerintahan adalah fenomena konflik dan kekerasan yang masih berlangsung sampai saat ini. Konflik dan kekerasan juga merupakan bagian dari pertarungan kepentingan, dalam skala sosial, ekonomi, budaya, politik dan SARA. Ini memprihatinkan.
Manajemen konflik
Dalam khasanah manajemen modern, konflik adalah penting dalam membangun inovasi, pemecahan masalah. Pandangan ini bertolak belakang dari pandangan tradisionalis yang lebih memilih menghindari (menekan atau meniadakan) konflik dengan kesan selesai tanpa menyentuh initisari sumber konflik dan kekerasan yang terjadi. Konflik dan kekerasan kemudian tidak dikelola secara baik karena fokusnya hanya “pemadam kebakaran”. Ini tentu menimbulkan potensi terjadi kembali di kemudian hari.
Salah satu poin penting dalam kekerasan yang terjadi saat ini adalah adanya kesan pembiaran. Pembiaran yang dimaksud adalah kurang nampaknya upaya terintegrasi antar sektor dan akibatnya adalah terus menerus terjadi konflik, termasuk pada wilayah dan isu yang sama.
Interpretasi yang muncul adalah lemahnya kepemimpinan negara dn pemerintah. Oleh Widjajanto (2006) gelombang kekerasan terjadi antara lain karena Indonesia memiliki struktur negara yang lemah (weak state). Situasi lemah dan instabilitas tersebut, menurut Widjajanto mengakibatkan Indonesia sangat rentan terhadap berbagai tekanan-tekanan, baik dalam maupun luar. Lemahnya kepemimpinan negara, ditunjukkan oleh lemahnya strategi, koordinasi dan kerjasama antar sektor, serta lambatnya penanganan. Akibatnya terjadi perbedaan persepsi yang tinggi antara pihak penguasa yang menggunakan isu konflik dan kekerasan sebagai bagian dalam membangun citra, dengan rakyat di akar rumput yang setiap hari merasakan dan juga melihat, termasuk dari berbagai tayangan media. Situasinya tidak seperti yang dinyatakan para pemimpin bangsa tersebut.
Media dan propaganda kekerasan publik
Merunut pernyataan Widjajanto dan melihat bahwa kekerasan dan konflik masih terjadi dalam era reformasi ini, tentu menimbulkan pertanyaan besar tentang apa yang sedang terjadi pada bangsa ini. Apakah berbagai fenomena kekerasan yang bersifat makro terjadi secara sistematis dan memiliki panduan idiologis (agama, mahzab ekonomi, politik) menggambarkan negara dan pemimpinnya tidak memiliki kehendak kuat untuk mencari solusi konflik? Atau mereka tidak memiliki kemampuan yang kuat untuk menyelesaikan secara strategis, sistematis dan terintegrasi?
Sementara pada tataran akar rumput, jika mengambil contoh para pelajar dan mahasiswa yang terlibat, perselisihan justru meluas melibatkan publik secara luas. Melibatkan publik dan membuat gangguan pada aktivitas publik yang lain adalah cermin tentang rendahnya penghormatan terhadap hak orang lain.
Media TV dan media cetak, demikian pula media sosial, tentu perlu dicermati juga. Perlu dikritisi, terutama ketika kekerasan dan konflik menjadi komoditas. Penonton tetaplah sebagai korban yang lemah dan harus menerima tayangan kekerasan dan konflik tersebut sebagai informasi atau hiburan. Jika itu terjadi, maka spirit media yang seharusnya memiliki kemampuan membuat “public awareness” dan edukasi atas isu kekerasan dan konflik, justru menjadi pelaku propaganda yang menguatkan idiologi kekerasan. Media justru melakukan provokasi nilai-nilai kekerasan.
Aspek lain yang perlu dicari solusinya adalah kemungkinan terjadinya frustasi sosial, yaitu ketika berbagai problematika bangsa ini terus terjadi dan tidak cukup kuat rasa dan upaya kongkrit menyelesaikannya. Beberapa problem bangsa cenderung terjadi berulang. Frustasi sosial tersebut menimbulkan apatisme publik dan pada tataran ini aspek kebersamaan semakin terkikis dan pencapaian gagasan kebaikan bersama semakin jauh. Akibatnya, cita-cita kebangsaan bisa hilang, dan itu adalah awal kehancuran bangsa ini.
Kembali kepada isu kekerasan dan konflik, pertanyaan yang muncul adalah mengapa ketika terjadi peristiwa kekerasan, yang muncul adalah semakin nampak kuat motivasi meniadakan orang lain? Mengapa konflik bukannya dipakai untuk membangun berbagai upaya, bahu-membahu, menjadikan bangsa ini makin produktif?
*Setio Budi HH, dosen Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UAJY