Pupung Arifin
Bernas, 8 April 2014
Besok, Rabu 9 April 2014, seluruh rakyat Indonesia menentukan pilihan atas wakil mereka yang akan duduk di kursi DPR dan DPRD lima tahun ke depan. Tentu bukan urusan mudah karena dari sepuluh partai peserta pemilu, masing-masing mengajukan delapan orang calon anggota legislatif (caleg) yang terbagi ke dalam kursi DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Jumlah tersebut masih ditambah dengan DPD dari masing-masing provinsi. Rumah Pemilu (rumahpemilu.org) melansir data untuk Pemilu tahun 2014 Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan 2.453 daerah pemilihan (dapil).
Semua partai politik peserta Pemilu 2014 sudah melewati proses kampanye tiga minggu terakhir. Setiap calon anggota legislatif berjuang dengan caranya masing-masing untuk memperoleh simpati masyarakat. Program kerja partai dan atau caleg sudah ditawarkan kepada masyarakat, hampir semuanya program kerja yang indah didengar.
Tulisan ini membahas kampanye partai politik dan politisi mulai dari level pertarungan wacana, sampai pertarungan implementasi kampanye yang dilakukan akar rumput di daerah-daerah. Ketakutan akan hadirnya kembali suara bising kampanye yang memanfaatkan knalpot motor roda dua sudah terbukti di beberapa daerah. Kampanye cara lama seperti itu masih menjadi pilihan beberapa kader partai untuk mengambil perhatian masyarakat. Entah perhatian yang positif atau justru sebaliknya.
Salah satu media yang masih dianggap cukup efektif untuk memperoleh perhatian masyarakat adalah televisi. Sejatinya untuk mengidentifikasi tayangan kampanye di televisi adalah melalui iklan masing-masing partai. Namun yang menjadi rumit untuk dipetakan adalah, banyak partai yang melakukan kampanye bukan hanya dalam bentuk iklan. Inilah kampanye laten yang tidak mudah diidentifikasi sebagai tayangan iklan atau bukan.
Frekuensi yang lebih banyak dan durasi yang lebih lama dalam penayangan berita kampanye atau iklan dari salah satu tokoh partai menjadi bukti. Masyarakat diajak memaklumi tayangan tersebut, karena mereka berdalih tayangan itu mengandung nilai berita tinggi dan konten media yang ditampilkan sepenuhnya merupakan pertimbangan redaksional.
Danial (2009: 6) mengatakan, demokrasi di Indonesia sudah menjadi semakin mahal mirip seperti demokrasi di Amerika. Ia menyebut tiga faktor yang menyebabkan mahalnya biaya kampanye. Pertama, saat ini calon wakil rakyat dan presiden tidak lagi dipilih oleh elitis, namun sepenuhnya ada di tangan rakyat. Bahkan semenjak ada otonomi daerah, pemimpin daerah semacam gubernur, walikota/bupati sampai lurah/kades juga dipilih langsung oleh rakyat. Karena kondisi itulah maka faktor yang kedua mencuat. Iklan di televisi dipilih untuk menjangkau sebanyak mungkin rakyat. Faktor kedua secara tidak langsung menjadi pemicu munculnya faktor yang ketiga, yaitu pelibatan konsultan komunikasi politik yang ditunjuk partai politik ataupun calon presiden untuk memengaruhi rakyat.
Sebenarnya Majalah Cakram edisi November 2004 dalam artikel berjudul “Iklan sebagai mesin politik baru” sudah memprediksi munculnya fenomena tersebut. Pemilu 2004 disebut-sebut sebagai pemilu pertama di Indonesia yang menggunakan tiga konsep yang sudah dipaparkan di atas. Media, dalam hal ini televisi mau tidak mau menjadi pusat perhatian baru yang disasar calon pemimpin pasca era reformasi.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai pengawas sekaligus regulator penyiaran masih harus berpikir keras dan dipusingkan dengan urusan kampanye Pemilu 2014. Jauh sebelum masa kampanye yang sudah ditetapkan oleh KPU tanggal 16 Maret 2014-5 April 2014, banyak televisi swasta secara terang-terangan menyiarkan tayangan yang berbau kampanye. Tempo.co (2014) melansir data pada Desember 2013 sudah ada setidaknya enam stasiun televisi yang melakukan penayangan program berita dan berita yang tidak proposional berkaitan dengan Pemilu. Keenam stasiun televisi tersebut ditegur KPI dengan alasan hampir sama, yaitu memberikan porsi durasi dan frekuensi terlalu besar kepada pemilik televisi yang sekaligus politikus atau calon presiden/wakil presiden.
Pelanggaran seperti itu jumlahnya semakin banyak ketika memasuki masa kampanye. Gugus Tugas Pemantauan Pemilu yang dibentuk dari unsur KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), KPI dan Komisi keterbukaan Informasi Publik (KIP) mengeluarkan data, setidaknya ada delapan partai politik yang iklan kampanyenya tayang di 11 stasiun televisi, hampir setiap hari melakukan pelanggaran. Pelanggaran yang paling sering terjadi adalah penayangan iklan spot berdurasi lebih dari 30 detik dan melebihi batas maksimal 10 slot per hari. Data tersebut belum termasuk program acara kuis, variety show, dan berita yang di dalam kontennya mengandung unsur kampanye partai.
Berbicara mengenai isi tayangan, black campaign juga marak terjadi. Setidaknya berdasarkan data kpi.go.id (28/3/2014), pada 24 Maret 2014 KPI telah melayangkan surat teguran kepada Metro TV yang diduga menayangkan siaran dengan materi menyerang anggota DPR incumbent yang kembali mencalonkan diri. Berdasarkan temuan KPI dan Gugus Tugas Pemantauan Pemilu yang menjadi pertanyaan besar adalah, masih berfungsikah pendidikan politik dalam tayangan kampanye di media televisi? Konstruksi media atas isi pesan mengaburkan fungsi pendidikan politik tersebut. Media mengemas sedemikian rupa kontennya untuk menghasilkan realitas kemasan. Realitas semu yang memunculkan euforia pesta demokrasi yang seolah-olah demi kepentingan khalayak, yang pada hakekatnya jauh dari itu.
Simons (2000: 81-103) mengatakan, iklan dalam peristiwa politik hanya menghasilkan dan membentuk citra baru di mata masyarakat. Citra baru ini hanya jalinan visual dengan bumbu naratif yang membuat nalar politik bangsa menjadi pandir. KPI sendiri sebagai perpanjangan tangan masyarakat hanya memiliki kekuatan minor bila dihadapkan pada industri televisi padat modal. Ketegasan KPI, KPU dan Banwaslu sebenarnya patut diapresiasi, namun stasiun televisi seolah tidak peduli dan memiliki 1001 cara berkelit dari aturan dan teguran.
Lembaga penyiaran seharusnya melihat kembali fungsi civil servant yang diamanatkan kepadanya. Masyarakat selayaknya diberikan posisi lebih terhormat terkait frekuensi ruang udara yang dimiliki oleh publik. Masyarakat sudah tidak lagi bisa ditempatkan sebagai obyek kapital nilai tukar demi kepentingan sekelompok golongan.
*Pupung Arifin, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UAJY.