Bernas Jogja, Selasa, 22 Januari 2013
Oleh Ike Devi Sulistyaningtyas
Akhir tahun 2012 diwarnai dengan peristiwa mencengangkan yang dilakukan RSAB Harapan Kita Jakarta. Peristiwa terjadi 26 Desember 2012, ketika sebuah Production House (PH) menggunaan ruang ICU (perawatan intensif) untuk syuting sinetron berjudul Love in Paris.
Bagi dunia sinetron, syuting di berbagai lokasi merupakan hal biasa, namun dalam kasus ini, peristiwa syuting menjadi bermasalah ketika pada saat bersamaan terdapat pasien penderita leukimia yang dirawat berdekatan dengan lokasi. Bahkan tidak lama setelah syuting, pasien tersebut meninggal dunia. Muncul dugaan meninggalnya pasien diakibatkan pula oleh keributan ketika syuting dan rumah sakit dianggap menelantarkan pasien.
Opini Publik Pembentuk Reputasi
Peristiwa tersebut pasti berpengaruh terhadap reputasi RSAB Harapan Kita. Terlebih ketika media massa secara serentak memberitakannya sehingga opini publik semakin berkembang. Sekalipun pada hari berikutnya Humas RSAB melakukan klarifikasi, tetapi opini negatif sudah terbentuk dan akan membentuk reputasi negatif. Jika tidak dikelola akan menjadi titik penentu kejatuhan organisasi.
Bagi rumah sakit ini, mengelola reputasi tentu lebih kompleks dari pada sekadar menjual produk atau jasa kepada pasien. Pengelolaan reputasi melibatkan kualitas interaksi di antara pegawai, konsumen, kelompok masyarakat dan pihak-pihak lain. Interaksi akan berdampak besar bagi organisasi sehingga perlu pengelolaan komunikasi dengan pihak internal maupun eksternal.
Syuting sinetron akan menjadi sebuah paket tayangan di televisi yang akan ditonton jutaan audiens. Penonton akan melihat bagaimana ruang perawatan intensif untuk kepentingan yang sangat darurat, dipergunakan untuk kepentingan komersil, padahal dalam kondisi normal saja sebuah ruang ICU harus dipergunakan secara steril. Kenyataannya, rumah sakit mengizinkan ruang itu bagi kegiatan komersil yang sama sekali tidak bersinggungan dengan kepentingan pelayanan pasien.
Fungsi Dasar Rumah Sakit
Bagi RSAB Harapan Kita, terlepas dari ada atau tiadanya pasien di ruang ICU di mana syuting dilakukan, pada dasarnya keberadaannya bukan diperuntukkan untuk hiburan dan komersialisasi. Terlebih lagi rumah sakit ini merupakan rumah sakit milik pemerintah. Menurut Undang-Undang nomor 44 tahun 2009, rumah sakit perlu menekankan perlindungan terhadap keselamatan pasien. Bahkan setiap kegiatan yang dilakukan rumah sakit maupun di lingkungannya harus mengutamakan keselamatan pasien.
Sekalipun tidak ada aturan tertulis yang melarang rumah sakit dijadikan tempat syuting, namun pengelola perlu memperhatikan Pasal 26 Undang-Undang Pelayanan Publik No 25 tahun 2009. Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa “penyelenggara dilarang memberikan izin dan atau membiarkan pihak lain menggunakan sarana, prasarana, dan atau fasilitas pelayanan publik yang mengakibatkan sarana, prasarana, dan atau fasilitas pelayanan publik tidak berfungsi atau tidak sesuai dengan peruntukannya”. Maka tidaklah mengherankan jika setelah peristiwa syuting sinetron di RSAB Harapan Kita, terbentuk pandangan di kalangan masyarakat bahwa fungsi rumah sakit untuk melayani pasien tidak dilaksanakan dengan baik. Hal ini berujung pada pertaruhan reputasi RSAB di masa mendatang.
Pertaruhan Reputasi Rumah Sakit
Konsep konvensional tentang terbentuknya reputasi organisasi berpijak pada komunikasi antara organisasi dengan publiknya. Tetapi pada perkembangannya terdapat realitas bahwa reputasi organisasi dibentuk oleh organisasi yang dasarnya tetap berakar pada kepekaan sosial yang tinggi. Artinya reputasi organisasi yang baik dibangun dengan menciptakan organisasi yang manusiawi, ramah lingkungan, berteknologi pantas dan berkeuntungan ekonomi wajar.
Banyaknya kecaman dari para pihak, termasuk Kementrian Kesehatan, anggota DPR dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) maupun masyarakat luas menunjukkan bagaimana sensitivitas publik terhadap sebuah organisasi. Dengan demikian perlu disadari bahwa rumah sakit sebagai sebuah organisasi penyedia jasa pelayanan kesehatan perlu terus mengelola reputasinya. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan publik terhadap aspek kualitas pelayanan kesehatan, serta komponen mendasar lain yang melekat pada rumah sakit. Reputasi yang baik dapat terwujud, manakala rumah sakit secara nyata mengelola pelayanannya dengan mengacu pada konsep good corporate governance.
Dalam organisasi rumah sakit terjalin hubungan antara produsen penyedia jasa layanan kesehatan dan pasien sebagai konsumen. Hubungan dibangun dan dikelola lebih luas dari sekadar hubungan bisnis. Hubungan bisnis berkembang dan berubah menjadi hubungan kepercayaan. Kepercayaan adalah puncak yang ingin dicapai dalam hubungan antara produsen dan konsumen. Konsumen merupakan publik bagi organisasi yang terdiri dari kelompok masyarakat pluralistik, di mana terdapat banyak pusat kekuasaan dengan tingkat kebebasan tertentu. Dengan demikian organisasi memiliki suatu tanggung jawab untuk mencapai hubungan kemasyarakatan yang dapat diterima.
Ketika kepercayaan sebagai modal utama bagi rumah sakit tidak lagi mendapat dukungan publik, maka yang harus dilakukan adalah mengembalikan kepercayaan publik. Izin yang diberikan RSAB Harapan Kita kepada sebuah PH untuk melakukan syuting, telah mencoreng kepercayaan publik. Izin yang diberikan demi sebuah sinetron telah menempatkan reputasi rumah sakit sebagai taruhannya. Jika RSAB tidak mampu mengembalikan kepercayaan publik, maka akan menjadi titik kejatuhan nama baik yang telah lama dikelola dan dijaga sekian lama. Konsekuensi pemulihan reputasi adalah melakukan penajaman paradigma organisasi terhadap unsur sosial berpangkal pada nilai-nilai dasar organisasi.
Penajaman paradigma merupakan upaya mewujudkan organisasi yang berkualitas dan peduli pada kondisi masyarakat, serta adaptif terhadap berbagai perkembangan maupun tuntutan masyarakat. Dengan demikian reputasi yang sebelumnya telah dibangun dengan susah payah, tetap dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan. Reputasi positif yang diupayakan tentu bukan sekedar reputasi yang sifatnya semu (yang diharapkan oleh pihak organisasi), namun benar-benar terbentuk dari gambaran atau penilaian publik terhadap potensi, sumber daya dan prestasi yang dimiliki. Maka RSAB Harapan Kita sebagai sebuah organisasi penyedia pelayanan jasa perlu memikirkan opini publik yang membutuhkan pengelolaan khusus.
Sebagaimana diungkapkan oleh Wheelen dan Hunger (1995), publik adalah kelompok yang memiliki kepentingan dengan aktivitas organisasi, maka kelompok tersebut mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pencapaian tujuan organisasi. Hal ini penting dilakukan agar harapan terwujudnya reputasi positif bagi RSAB Harapan Kita dapat terpenuhi sehingga menjadi jembatan antara perilaku rumah sakit dengan apa yang diyakini publik.
*Ike Devi Sulistyaningtyas, M.Si, dosen Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta