Suap di Media

Bernas Jogja, 8 Oktober 2013

Oleh Olivia Lewi Pramesti

Penangkapan Akil Mochtar, Ketua Mahkamah Institusi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu 2 Oktober 2013 menjadi topik hangat di berbagai media. Akil diduga menerima suap dalam sengketa pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Pemberitaan soal Akil pun makin gencar ketika dalam penyidikan beberapa nama pejabat tersangkut di dalamnya.

Pemberitaan ini menjadi sasaran empuk bagi awak media karena memiliki nilai berita tinggi. Kasus ini “istimewa” karena menyangkut lembaga peradilan tinggi negara. Ironis memang. Seharusnya mereka yang menegakkan hukum, justru merekalah yang menjatuhkan hukum itu sendiri.

Bisa bernasib sama, isu penyuapan juga bisa terjadi pada media. MK menjadi ujung tombak sengketa perundang- undangan dan media menjadi ujung tombak demokrasi ketika tiga pilar demokrasi di atasnya mandul. Apa jadinya bila lembaga “tinggi” satu ini juga berhasil disuap oleh pihak tertentu?

Bukan lagi isapan jempol soal suap di media. Berdasarkan literatur, praktik suap ini sudah hadir di Indonesia sejak tahun 1950an. Perbedaannya dengan sekarang, suap tahun 1950an lebih berkutat soal dukungan moral dan perlindungan pada pers republiken. Dukungan moral direalisasikan dengan bantuan keuangan untuk membeli kertas, membiayai percetakan, atau gaji pegawai jika diperlukan. Hal ini dilakukan pemerintah agar media membantu perjuangan RI dalam melawan penjajah Belanda. Namun sekarang, praktik suap berada di era industrialisasi media, dimana media juga berorientasi pada keuntungan. Alih-alih, suap bisa membeli idealisme pers saat ini.

Fenomena praktik suap ini ternyata masih terjadi saat ini. Berdasarkan penelitian penulis yang ditulis dalam tesis Anatomi Suap dan Faktor Penyebabnya di Kalangan Jurnalis (Studi Kasus Terhadap Praktik Suap di Kalangan Jurnalis di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2013 ini, praktik suap di kalangan jurnalis terjadi karena berbagai faktor. Faktor tersebut diantaranya rendahnya komitmen individu jurnalis untuk menegakkan etika suap, kode praktik dari perusahaan yang minim, lemahnya pengawasan organisasi profesi, tekanan komersial, serta tidak adanya sanksi sosial dalam masyarakat.

Selain temuan tersebut, penulis juga menemukan temuan menarik lainnya yakni soal definisi suap dalam Kode Etik Jurnalistik yang ternyata masih lemah. Lemah di sini dalam artian kurang memberikan pemahaman yang utuh dan lengkap soal suap itu sendiri. Menurut peneliti, hal ini justru sangat krusial diperhatikan karena menjadi ujung tombak dalam penegakan etika suap di media.

Suap di dalam media diatur dalam Kode Etik Jurnalistik Pasal 6 yang berbunyi “Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.”Suap didefinisikan sebagai segala pemberian dalam bentuk uang, benda, atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.

Berdasar definisi tersebut, sebenarnya memunculkan banyak pertanyaan. Apa perbedaannya dengan gratifikasi yang sama-sama juga berarti pemberian?Apa saja sanksinya? Batasan yang seperti yang dinamakan suap ataukah tidak?
Pertanyaan-pertanyaan ini seringkali susah untuk dijawab hingga saat ini. Berbeda ketika menyoal suap dalam ranah hukum. Pengertian jelas seperti yang tertuang dalam “Buku Saku Memahami Gratifikasi” yang diterbitkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Definisi suap dan gratifikasi ini berbeda. Suap memiliki bobot lebih tinggi daripada gratifikasi karena bisa berpengaruh pada tugas dan tanggungjawab seseorang. Dalam ranah hukum, perbedaan suap dan gratifikasi juga dibarengi dengan sanksi yang tegas dan mengacu pada undang-undang.

Beruntung bagi pelaku media yang bekerja di sebuah perusahaan yang dengan jelas memberikan pemahaman utuh soal suap. Namun bagi perusahaan yang hanya menyandarkan pada pengertian dalam kode etik jurnalistik, apakah pelaku medianya benar-benar jelas dan paham soal suap itu sendiri?

Definisi suap yang masih menimbulkan pertanyaan ini mungkin bisa menjadi penyebab masih maraknya praktik suap di kalangan jurnalis. Pelaku media sendiri tidak paham soal apa yang harus dilakukannya soal suap. Inilah yang akhirnya berimbas pada rendahnya komitmen individu untuk menegakkan etika soal suap.

Menurut peneliti, perusahaan perlu andil dalam menterjemahkan suap itu sendiri berikut dengan sanksinya. Inilah yang disebut dengan kode perilaku (code of conduct). Setidaknya, kode perilaku ini bisa menjadi tuntunan bagi pelaku media untuk memberikan batasan soal suap. Ironisnya, kode perilaku ini belum banyak dimiliki oleh perusahaan media. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan media pun belum serius untuk mencegah praktik suap.

Kode perilaku ini disusun untuk mendukung kode etik jurnalistik. Kode perilaku lebih berfungsi ke luar untuk memelihara standar profesi jurnalisme di lingkungan atau perusahaan pers. Kode perilaku ini dapat diimplementasikan lewat style book perusahaan yang nantinya akan menjadi buku acuan bagi jurnalis. Buku acuan ini membantu pelaku media untuk melakukan standar nilai dan prosedur kerja profesional jurnalisme.

Suap di lingkungan media sangat potensial terjadi. Media saat ini bak raja untuk mencapai popularitas seseorang ataupun institusi. Sangat memungkinkan, media juga mudah melakukan suap untuk kelangsungan hidupnya. Bila benar terjadi, pers di Indonesia akan terus mengalami kemunduran.

Sejauh mana perusahaan media akan berkontribusi dalam penegakan etika suap? Sejauh mana media akan terus mempertahankan independensinya? Suap bukan persoalan biasa. Kalau media dengan mudah bisa disuap, mau jadi apakah negeri ini? ***

Olivia Lewi Pramesti, dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Search

Pengumuman