Bernas Jogja, Selasa 19 Agustus 2014
Oleh Setio Budi HH
Dua peristiwa penting di bulan Agustus selain peringatan proklamasi adalah ulang tahun TVRI dan RCTI. Mengapa dua stasiun televisi tersebut penting? Pertama, karena TVRI milik pemerintah yang sejak tahun 1962 menjadi tulang punggung komunikasi dan propaganda kepada masyarakat secara luas. TVRI sampai tahun 1987an menjadi komunikator tunggal, menyuarakan kepentingan pemerintah, dari rejim orde lama sampai orde baru.
Kedua, adalah RCTI, yang menjadi televisi swasta pertama yang mengudara, sejak pemerintah mengeluarkan SK No: 167B/MENPEN/1986. SK Menpen tersebut selain berisi “open sky policy”, yang ditujukan untuk menghadapi maraknya luberan siaran melalui satelit luar negeri yang bisa diterima oleh parabola, juga mencakup ijin mengenai siaran saluran terbatas. Pada perkembangan selanjutnya, melalui SK MENPEN No 190A/KEP/MENPEN/1987 muncul ijin pendirian stasiun televisi swasta. Pada perkembangan selanjutnya diikuti adanya pembatasan iklan pada TVRI. Ini sekaligus tanda dimulainya perijinan pendirian dan perkembangan industri televisi swasta, serta meredupnya dominasi dan peran TVRI.
TV dan kepentingan pemilik
Studi-studi dari disiplin ilmu komunikasi dan psikologi mengatakan bahwa televisi memiliki pengaruh yang besar dalam mempengaruhi aspek kognisi, afeksi dan psikomotorik khalayak. Pengaruh TV menjadi signifikan, ketika terlihat dampaknya secara empiris di masyarakat, dari kecepatan informasi, pengetahuan, penyebaran berita sampai perilaku konsumtif, perubahan cara pandang dan budaya, efek peniruan, dan perilaku menonton yang berlebihan (kecanduan). Perspektif yang mengatakan ada dampak positif dari TV bertemu dengan perspektif kritis, yang menunjukkan bahwa siapa yang memiliki industri televisi dengan idiologi dan kepentingannya akan menentukan arah program siaran dan aspek jurnalisme/ pemberitaan media tersebut. Tentu ini berbahaya bagi khalayak luas karena bersifat manipulatif dan sarat kepentingan.
Pada awal kemunculan televisi swasta telah muncul kritik tentang dominasi program impor (lebih murah dan cepat) dalam tayangan TV tersebut. Akibatnya masyarakat dijejali dengan hollywood, bollywood dan tayangan film mandarin. Tekanan publik kemudian dijawab oleh industri televisi dengan mulai maraknya produksi lokal dan beberapa di antaranya dianggap baik seperti serial si Doel dan lainnya. Namun pada perkembangan berikut sampai saat ini, TV mulai sarat tayangan seperti “hantu-hantuan”, sinetron jin dan peri yang cenderung tidak masuk akal dan bisa mengarah ke hal-hal yang bersifat musyrik. Tayangan hiburan juga sarat dengan gosip dan lawak/ “ngocol” yang tidak mendidik. Kekerasan, klenik dan gosip menjadi ramuan program yang tidak mendidik dan tidak memiliki nilai.
Sementara di sisi lain, yaitu aspek jurnalisme TV juga mendapat sorotan karena pelanggaran kaidah jurnalisme, yaitu ketika berbagai pemberitaan, talk show, wawancara ditayangkan sarat dengan kepentingan dari pemilik atau pengelola TV tersebut. Problem yang mendasar lainnya adalah TV swasta yang ada saat ini dimiliki oleh segelintir orang. Harry Tanoe (MNC grup), Surya Paloh (Metro TV), Aburizal Bakrie (ANTV dan TV One) serta Chaerul Tanjung (Trans TV dan Trans 7), selain Indosiar, Grup SCTV. Ijin pendirian yang pada awalnya dimiliki oleh orang yang berbeda saat ini sudah berpindah tangan dan mengelompok. Televisi-televisi tersebut pada akhirnya mengelompok dan tetap menggunakan ijin frekuensi lama dalam bersiaran. Ini adalah contoh akuisisi frekuensi milik publik dalam genggaman pemilik TV.
Mengontrol TV
Tentu kita tetap berharap pada KPI dan berbagai lembaga yang menaruh perhatian pada industri televisi di Indonesia, untuk tetap mengawasi perilaku media televisi. Problematika media televisi menjadi semakin kompleks akhir-akhir ini, berkaitan dengan kegiatan pemilu dan pilpres. Keberpihakan, baik atas nama kepentingan dan atau karena pemilik yang maju dalam kompetisi pemilu dan pilpres nampak jelas dari frekuensi dan intensitas tayangan, berupa pemberitaan, iklan dan berbagai talkshow/ program yang bisa disisipi oleh kepentingan politik tersebut. Akibatnya adalah televisi tidak lebih dari sebuah tayangan propaganda dan penuh manipulasi atas nama kepentingan politik. Secara substantif hal di atas merupakan pelanggaran atas penggunaan frekuensi milik publik untuk kepentingan suatu golongan/perorangan.
Pengaruh media televisi yang kuat, dalam konteks kompetisi politik seperti pemilu dan pilpres 2014 ini memiliki potensi besar yang menghilangkan nalar jernih khalayak karena sarat kepentingan. Yang terjadi kemudian adalah munculnya sisi emosionalitas khalayak yang cenderung tidak produktif, karena tayangan yang bersifat pro dan kontra terhadap calon presiden misalnya, lebih bersifat k jangka pendek.
Kontrol publik atas perilaku media televisi sebaiknya tidak hanya mengandalkan lembaga seperti KPI dan KPID, namun juga bisa melalui kekritisan khalayak secara individu dan kelompok untuk bisa menilai dan mengevaluasi tayangan TV, baik dari sisi program maupun aspek jurnalismenya. Masyarakat perlu sadar bahwa mengandalkan media hanya kepada TV adalah tindakan yang tidak tepat. Masih banyak media lain, seperti media online dan media cetak yang bisa menjadi sumber informasi selain televisi. Ini juga menunjukkan bahwa kecerdasan masyarakat sebenarnya semakin tumbuh terutama ketika bisa mengelola berbagai media, menjadi sumber informasi dan pembelajaran yang produktif.
Kontrol publik tersebut juga termasuk keberanian untuk mengambil keputusan yaitu stop menonton TV, atau stop menonton suatu stasiun TV yang tidak mengindahkan kepentingan publik, dengan bersiaran semau mereka sendiri.
*Setio Budi HH, staf pengajar Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UAJY