Bernas Jogja, Selasa, 23 Oktober 2012
Oleh Lukas S. Ispandriarno
Foto seorang anggota TNI Angkatan Udara yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis di kompleks Pandau Jaya, Siak Hulu kabupaten Kampar Kepulauan Riau tersebar luas hingga manca negara. Foto yang sama melengkapi berita di situs Reporter Without Borders, berjudul ”Air force tries to impose news blackout on fighter jet crash”. Tayangan video berdurasi tiga menit di RiauTV Pos muncul di YouTube.
Kecelakaan sebagai tontonan
Tayangan video tindak kekerasan terhadap jurnalis di YouTube menghadirkan dua catatan. Pertama, peristiwa jatuhnya pesawat, seperti halnya berbagai kecelakaan lain, telah menarik perhatian masyarakat sehingga warga melakukan berbagai upaya agar rasa ingin tahu terjawab. Masyarakat berbondong-bondong mendatangi lokasi, dan menyimak berbagai liputan media massa tentang peristiwa kecelakaan, banyak warga yang seolah puas bila dapat menyaksikan langsung di lokasi peristiwa ketimbang “sekadar” mendapatkannya dari media.
Situasi seperti ini juga terjadi di kompleks perumahan Pandau Jaya. Puluhan atau ratusan orang berduyun-duyun menuju ke lokasi, menonton potongan pesawat Hawk yang masih mengeluarkan api dan asap, teronggok di pekarangan rumah warga. Barangkali masyarakat tidak tahu bahwa pesawat tersebut menggendong peluru kendali AIM-9 Sidewinder dan Cannon, atau justru informasi tentang hal ini semakin mendorong rasa ingin tahu masyarakat untuk mendekat, ingin membuktikannya. Peristiwa kecelakaan merupakan tontonan yang menarik sehingga dapat menjadi pemuas dahaga informasi, bahan cerita bagi teman dan sanak saudara, meski seseorang harus “membuang” waktu, berdesak-desakan, bahkan mendapat resiko dan ancaman bahaya.
Kedua, banyaknya warga (penonton) tidak sebanding dengan jumlah personil TNI AU yang ingin “mengamankan” lokasi. Dari beberapa kerumuman terdapat sejumlah orang mengambil gambar dengan telepon selular dan kamera saku. Peristiwa kecelakaan pesawat memiliki nilai tertentu bagi masyarakat awam, selain bagi jurnalis. Warga juga ingin mengabadikan, memotret, membuat video, dan barangkali membuat tulisan, semacam laporan atas apa yang telah dilihatnya.
Kemudahan memiliki peralatan komunikasi dengan berbagai fasilitasnya telah mendorong warga untuk bertindak bagaikan jurnalis. Mereka berpotensi mempraktikkan citizen journalism, jurnalisme warga, menjadi pewarta warga. Boleh jadi masyarakat tidak mengirimkan gambar dan tulisannya kepada sebuah media, namun menuangkannya di blog, atau sekadar menempatkannya sebagai koleksi pribadi di kamera atau telepon selularnya. Pendek kata, peristiwa jatuhnya pesawat militer jenis Hawk buatan Inggris di Riau itu telah mengundang rasa ingin tahu warga dan menjadi tontongan gratis yang patut menjadi kenangan, dicatat di benak, di kamera saku, maupun di telepon selularnya. Kemudahan bermedia semakin kuat melatarbelakangi hasrat berada di lokasi jatuhnya pesawat.
Kekerasan menutupi informasi
Pada detik-detik terakhir tayangan terlihat aksi seorang personil TNI AU yang belakangan diketahui sebagai Letnan Kolonel (Pnb) Robert Simanjuntak, mengejar, menendang, menjatuhkan, menindih dan mencekik seorang warga sipil berbaju (kaos) hijau sementara terdengar teriakan “ambil kameranya, ambil kameranya”. Seorang berseragam oranye berlari mendekat dan merampas kamera jurnalis Riau Pos, Didik Herwanto yang sedang ditindih dan dicekik itu. Pantaskah tindakan tersebut? Benarkah seorang perwira TNI AU ingin mengamankan pemotret agar tidak mendapatkan celaka? Benarkah pelaku kekerasan sehari-harinya sabar dan tiba-tiba berubah emosional? Bukankah terdapat enam aksi kekerasan yang dilakukan petugas di sekitar lokasi jatuhnya pesawat?
Aksi ini mencerminkan suasana batin lembaga TNI AU di mana kekerasan melekat di dalamnya. Komandan Lanud Roesmin Norjadin Kolonel (Pnb) Bowo Budiarto mengatakan, Robert datang terburu-buru ke lokasi pesawat jatuh, tidak tahu pilot, Letda Reza telah terlontar dari kursinya. Robert berpikir, kenapa wartawan tidak memiliki empati dan mengambil foto-foto, padahal ada orang tewas di kokpit. “Dia jadi emosional, padahal sehari-hari sabar.” (Kompas, 18/10).
Siapa pun, termasuk warga, pasti akan datang ke lokasi jatuhnya pesawat dengan segera agar cepat tiba di lokasi. Pejabat atau anggota korps TNI harus bergerak lebih cepat, supaya bisa melakukan tindakan penyelamatan maupun pengamanan. Wartawan juga harus tiba seawal mungkin untuk mendapatkan momen apapun yang lazim disebut dengan realitas atau kebenaran. Realitas itu kemudian diolah mengikuti etika jurnalistik lalu disampaikan kepada publik agar berbagai pihak yang berkepentingan dapat mengambil manfaat, bertindak dengan tepat. Itulah tugas jurnalis.
Pernyataan Danlanud mencerminkan pembelaan yang dicari-cari dan hanya menjadi pembenar atas aksi kekerasan anak buahnya. Seorang pejabat militer diasumsikan memiliki pengalaman luas di berbagai situasi termasuk menghadapi kecelakaan pesawat yang sudah sering terjadi di mana hadir kerumunan massa dan liputan oleh jurnalis. Tindak kekerasan terhadap jurnalis dan warga di Pandau Jaya menebalkan kenyataan bahwa praktik kekerasan masih melekat dalam ritme hidup keseharian kalangan militer. Kendati kita telah menghirup udara demokrasi namun “zona bahaya” masih ditampilkan lembaga militer, termasuk kepolisian. Tulisan “Awas Kompleks Militer” maupun memasang hambatan di jalan umum di depan kantor polisi hanyalah beberapa contoh.
Kekerasan telah menyulut protes di berbagai kota di Indonesia. Reporter Without Borders (Reporter Sans Frontiere), sebuah lembaga nir laba pengawal kebebasan informasi menulis: “We condemn this violation of freedom of information. Nothing can justify the use of such violence against journalists acting in the public interest “. (en.rsf.org, 17/10). Kami mengutuk kekerasan terhadap kemerdekaan informasi. Tak ada yang menyepakati penggunaan kekerasan terhadap jurnalis yang bekerja untuk kepentingan publik.
Kekerasan yang diperagakan personil TNI AU, entah berwatak sabar atau emosional, tentu karena perintah, semangat korps, memegang prinsip bahwa pesawat militer harus dilindungi, dijaga, agar tidak “tercemar”. Satu hal yang terabaikan, dunia terus berkembang, teknologi komunikasi semakin canggih, kebebasan bermedia semakin meluas. Hampir mustahil mencegah orang atau warga masyarakat mendekati lokasi kecelakaan, apalagi bila petugas terlambat tiba di lokasi. Masyarakat juga bisa membantu, memberikan pertolongan.Tentu ini sebuah dilema, karena pesawat militer memiliki perlakuan khusus, kerahasiaannya harus dijaga, selain potensi bahaya, meledak, terbakar. Dalam suasana dilematik pun penggunaan kekerasan tidak layak dipilih. Dalam suasana panik penggunaan kekerasan terhadap warga atau jurnalis justru membuka “tontonan” baru dan mengundang kecaman.
Kekerasan memang tidak layak dipraktikkan, apalagi kita telah memasuki sistem politik yang semakin terbuka, menghargai martabat manusia apapun latarbelakang sosial budayanya. Kekerasan terhadap jurnalis di Riau menjadi catatan bagi kita untuk tidak terulang di kemudian hari. Tidak layak menggunakan kekerasan untuk menutupi informasi.
*Lukas S.Ispandriarno, dosen FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta.