Bernas Jogja, Selasa, 3 September 2013
Oleh Ike Devi Sulistyaningtyas
Tanggal 1 September merupakan peringatan hari Polisi Wanita (polwan). Peringatan tersebut menjadi sebuah gagasan menarik untuk menilik kembali kiprah polwan Indonesia. Keberadaan polwan sejak awal 2013 menjadi daya tarik tersendiri, tidak hanya bagi dunia kepolisian namun juga merambah bidang broadcasting. Lihat saja bagaimana polwan-polwan berparas cantik turut mewarnai program acara pemberitaan di layar kaca, melaporkan kondisi lalu lintas melalui National Traffic Management Center (NTMC) atau semacamnya. Sebelum trend polwan cantik merebak, pemberitaan di media dengan angle apapun biasanya dibawakan oleh mereka yang berprofesi sebagai presenter atau pembawa acara profesional. Di lain sisi media massa juga menjadikan topik polwan cantik sebagai berita utama yang menarik dikupas tuntas, mulai dari karir yang dijalaninya hingga kehidupan pribadinya.
Fenomena kecantikan dan perempuan pada profesi polwan seolah-olah menjadi hal yang luar biasa. Media massa dengan daya jangkaunya mampu mengubah citra polisi yang garang dan menakutkan menjadi idola yang menarik dan disukai. Namun apakah perempuan dengan profesi polwan hanya layak tampil dan diidolakan ketika berparas menawan? Dalam kondisi ini kecantikan diibaratkan menjadi sebuah hal yang memiliki nilai paling tinggi dalam hal menempatkan kelayakan untuk tampil. Lalu bagaimana dengan profesionalisme polwan? Bagaimana pula peran polwan sebagai salah satu kekuatan pilar negara?
Problema Cantik
Tentu masih banyak prestasi yang dicapai polwan dalam menjalankan profesinya, selain membahas faktor kecantikannya. Sayangnya kecantikan justru menjadi problema dalam karir seorang polwan. Problem yang dimaksudkan muncul dalam beberapa kasus, di antaranya pelecehan yang dialami polwan. Pada medio 2013, dunia kepolisian dikejutkan dengan pemberitaan mengenai hilangnya seorang polwan cantik berusia 25 tahun selama 5 bulan. Pembicaraan mengenai polwan cantik ini merebak tidak hanya di seputaran Mojokerto, tempat hilangnya sang polwan, tetapi juga menjadi buah bibir hampir di seluruh media massa.
Isu utama yang menjadi daya tarik bagi media adalah alasan hilangnya sang polwan karena pelecehan seksual yang dilakukan atasannya yang notabene seorang laki-laki. Kecantikan menjadi alasan kuat mengapa sang atasan memperlakukannya dengan tidak hormat. Kasus pelecehan yang terjadi pada polwan bukan hanya sekali ini, namun juga mencuat pada tahun 2005, sebagaimana diungkapkan oleh koordinator Indonesia Police Watch (IPW) yang mencontohkan kasus pelecehan di Jawa Barat. Kasus ini membuat seorang petinggi kepolisian yang baru menjabat tiga bulan akhirnya dicopot dari jabatannya, namun tidak lama kemudian ia mendapatkan kembali jabatannya di wilayah yang berbeda. Kondisi semacam ini membuat citra polisi semakin buruk di mata masyarakat.
Perempuan dan cantik bagaikan dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Namun ketika seorang perempuan dianugerahi kecantikan, apakah dunia tidak dapat melihat kelebihan lain selain sosok menawan? Pandangan dunia mengenai kemudahan seorang perempuan yang berparas cantik dalam memperoleh hal yang diinginkannya masih melekat erat. Perempuan cantik tidak diberi kesempatan setara untuk turut dalam pertarungan menjadi seorang pribadi bernilai. Pelbagai kerugian akhirnya diderita perempuan yang bersifat merendahkan martabat dan stereotyping.
Hilangnya martabat yang disebabkan kecantikan dialami pula oleh seorang perempuan berusia 33 tahun di London bergelar Ph.D (tempo.co, 31/5/2013). Ia berhenti dari pekerjaannya sebagai peneliti dengan gaji 30 ribu euro, karena gangguan rekan laki-laki dan kecemburuan rekan perempuan yang mengintimidasi bahwa keberhasilan yang didapatkannya hanya karena kecantikannya. Ia merasa direndahkan ketika koleganya menganggap ia cantik namun bodoh. Tidak ada satu halpun yang dapat dilakukan untuk menghentikan intimidasi tersebut, sekalipun ia sudah menunjukkan prestasinya. Dengan kecantikannya, justru deritalah yang dialami.
Cantik Sebagai Penanda
Jika cantik selalu diasumsikan sebagai bagian dari sebuah anugerah, maka cantik adalah penanda dari kebaikan, begitulah makna yang dimunculkan dari konstruksi perempuan. Praktik penandaan ini menunjukkan cantik sebagai representasi nilai seorang perempuan. Namun ketika cantik mendapatkan maknanya bukan dari realitas kehidupan perempuan, maka yang muncul adalah nilai keindahan yang berangkat dari hasrat laki-laki. Hal ini mengacu pada konsep semiotika Roland Barthes tentang “mitos” sebagai nilai-nilai ideologis terhadap tanda. Mitos cantik pada akhirnya dikosongkan dari makna yang dimiliki oleh perempuan, dan diisi oleh makna yang dikonstruksi laki-laki (Jackson and Jones, 2009).
Kasus polwan yang dilecehkan karena kecantikannya, bisa jadi berangkat dari bagaimana cantik sebagai penanda dikonstruksi laki-laki. Artinya, cantik adalah aparatus (alat) yang menciptakan sebuah entitas bernilai, yang menawarkan sebuah idealisasi keindahan perempuan dari sudut pandang laki-laki. Sayangnya kadangkala makna yang dihasilkan oleh perempuan sendiripun dipengaruhi oleh makna yang telah dikonstruksi laki-laki.
Cantiknya Polwan
Berangkat dari konstruksi yang dibangun mengenai perempuan cantik dalam masyarakat, bisa diartikan bahwa perempuan sedang ditempatkan sebagai suatu tanda dalam pesan yang sedang dikomunikasikan. Demikian halnya ketika polwan cantik menjadi sebuah episode baru dalam gerak laju kinerja kepolisian berjenis kelamin perempuan. Episode mengenai kegairahan dunia kepolisian yang peduli pada performa cantik.
Dalam formasi sosial, cantik kali ini ada dalam ruang perempuan berprofesi sebagai polisi. Selama ini polisi dianggap sebagai profesi yang sarat dengan aktivitas militerisme berbasis kekerasan fisik. Akibatnya muncul pemikiran bahwa perempuan cantik tidak akan mungkin bersinggungan dengan aktivitas fisik sebagaimana dilakukan polisi. Cantik masih identik dengan zona aman dan nyaman. Bahkan perempuan cantik cenderung dinilai sebagai sosok lemah yang harus dilindungi.
Namun dalam profesi polwan, justru merekalah yang menjadi agen penggerak lahirnya sosok cantik namun kuat. Sebuah pemahaman konseptual mengenai perspektif cantik, tampaknya harus didobrak dari sebuah nilai yang selama ini terbangun di tengah masyarakat. Perlu diyakini bahwa semua perempuan pasti cantik. Artinya, semua polwanpun tentu cantik, dan akan lebih cantik lagi manakala kiprah dan prestasi dalam dunia kepolisian makin tampak dalam aktivitas bela negara. Dirgahayu Polwan Indonesia!
* Ike Devi Sulistyaningtyas, M.Si, Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta