Bahasa dan Ancaman Kepunahan

Bernas Jogja, Selasa 9 Oktober 2012

Oleh Yohanes Widodo

Indonesia adalah negara multietnis dengan 1.128 etnis (BPS, 2010) dan negara multilingual kedua di dunia setelah Papua Nugini dengan 742 bahasa (Ethnologue, 2005). Ini berarti 10 persen dari 7.000 bahasa di dunia berada di Indonesia (Antara, 2012/09/04). Penggunaan Bahasa Indonesia dimulai sejak 1928, ketika pemuda-pemudi memilih bahasa Melayu sebagai lingua franca menjadi bahasa persatuan dengan pernyataan butir ketiga Sumpah Pemuda: “Kami, putera-puteri Indonesia, menjunjung bahasa bersatuan, Bahasa Indonesia”.

Sebagai bahasa nasional yang dinyatakan dalam UUD 1945, menempatkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi antaretnis, bahasa resmi pemerintah, dan bahasa pengantar di lembaga pendidikan di Indonesia. Bahasa Indonesia diajarkan di sekolah-sekolah sebagai mata pelajaran wajib sejak di Sekolah Dasar. Bahasa daerah jarang digunakan di sekolah-sekolah formal selain sebagai mata pelajaran muatan lokal di beberapa daerah. Bahasa lokal lebih banyak digunakan dalam pendidikan non-formal, khususnya dalam bidang sastra (Haddad, 2006).

Orang Indonesia umumnya bilingual. Mereka berbicara dengan keluarga mereka menggunakan bahasa daerah, sedangkan Bahasa Indonesia digunakan untuk berkomunikasi dengan orang dari daerah lain. Karena orang Indonesia umumnya bilingual, maka praktik kode-switching menjadi hal yang normal, tidak hanya untuk orang dewasa, tapi juga untuk anak-anak (Kozok, 2012).

Ancaman Kepunahan?

Multamia RMT Lauder dari Departemen Linguistik Universitas Indonesia menyatakan dalam 10 tahun terakhir kita melihat bahwa perkembangan bahasa daerah di Indonesia mengkhawatirkan (Yurnaldi, 2008). Dari 742 bahasa di Indonesia, hanya 13 bahasa memiliki penutur lebih dari satu juta. Ini berarti ada 729 bahasa daerah lain yang jumlah penuturnya di bawah satu juta. Di antara 729 bahasa daerah, 169 di antaranya terancam punah karena jumlah penutur kurang dari 500 orang. Dari 742 bahasa yang ada, yang bisa hidup hanya 75 saja (Zein, 2011). Menurut UNESCO, kepunahan bahasa di dunia paling banyak terjadi di Indonesia.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi dan ikut mendorong terjadinya kepunahasan bahasa daerah, salah satunya kehadiran Bahasa Indonesia. Ajip Rosidi mengatakan bahwa Bahasa Indonesia telah menjadi saingan bahasa lokal (Zein, 2011). Ini didukung oleh anggapan bahwa bahasa daerah atau bahasa ibu dianggap ketinggalan zaman, lebih rendah, tidak modern. Ada kepercayaan yang mengasosiasikan bahasa daerah identik dengan ‘kuno’ dan bertentangan dengan modernitas.

Banyak orang muda yang lahir dan besar di daerah perkotaan tidak (bisa) berbicara bahasa daerah. Orang-orang pun merasa malu menggunakan bahasa ibu. Orangtua cenderung enggan menggunakan bahasa ibu kepada anak-anak karena mereka berpikir bahwa agar bisa maju, maka anak-anak harus mampu berbicara bahasa Indonesia, bukan bahasa ibu.

Keresahan tentang ancaman kepunahan bahasa daerah cukup sering diungkapkan dalam berbagai forum, salah satunya diungkapkan oleh seorang dosen, Puji Laksono, dalam sebuah posting di Group Dosen Indonesia di Facebook. “Bahasa Jawa, khususnya bahasa Jawa Halus, diambang kepunahan. Sekarang orang lebih bangga memakai bahasa Indonesia. Tidak hanya di kota namun juga di desa-desa terpencil. Tidak hanya kaum terdidik namun juga rakyat biasa. Di sekolah dasar banyak guru yang mengajar bahasa Jawa namun pengantarnya bahasa Indonesia,”tulis Puji Laksono. Kerisauan semcam ini tidak hanya dirasakan terjadi pada bahasa Jawa saja, namun juga pada Bahasa Sunda, Bahasa Aceh dan lain-lain.

Bahasa Inggris juga bisa jadi menjadi saingan atau ancaman bahasa daerah dan Bahasa Indonesia. Kini dengan mudah kita temukan sekolah dasar-sekolah dasar yang menawarkan pelajaran Bahasa Inggris dan orang tua yang mewajibkan anak-anaknya kursus Bahasa Inggris.  Keluarga-keluarga dari kelas menengah cenderung lebih memilih sekolah-sekolah yang fokus pada Bahasa Inggris dan kurang mencurahkan perhatian terhadap Bahasa Indonesia. Bagi sebagian masyarakat, penguasaan bahasa Inggris semakin terkait dengan status sosial, dan Bahasa Indonesia turun statusnya  menjadi kelas dua (Onishi, 2010).

Media massa pun turut ‘meracuni’ bahasa daerah dan Bahasa Indonesia, terutama dengan maraknya penggunaan dialek Jakarta lewat program-program siaran remaja. Di televisi, sangat jarang kita temukan dialek daerah lain, sehingga dialek Jakarta menjadi panutan utama pemirsa. Dominasi penggunaan dialek Jakarta yang sangat massif mengarahkan pada asumsi bahwa dialek Jakarta adalah ‘lebih Indonesia’ daripada yang lain. Tak hanya televisi, media cetak dan radio anak muda pun berperan mendorong kepunahan bahasa daerah dan Bahasa. Hampir semua radio anak muda di seluruh kota di Indonesia ditandai oleh penggunaan dialek Jakarta (Widodo,  Bernas Jogja, 21/8/2012).

Penggunaan dialek Jakarta di radio anak muda Indonesia dapat ditelusuri ketika Radio Prambors Jakarta memproduksi drama radio berjudul “Catatan Si Boy” tahun 1980-an (Widiadi, 2010). Ketika diangkat ke layar lebar tahun 1988, film ini menjadi box office dan menjadi idola remaja. Terinspirasi oleh Radio Prambors Jakarta, para penyiar radio swasta di daerah-daerah ikut menggunakan dialek Jakarta, dan fenomena ini menjadi kian masif terutama sejak radio-radio anak muda seperti Prambors membangun jaringan radio di daerah-daerah.

Butuh Strategi Kebudayaan

Dominasi dan hegemoni penggunaan dialek Jakarta di media perlu dicermati oleh para pengelolanya karena pengaruh penggunaan dialek Jakarta di kalangan anak muda bisa merusak dan mengancam keberadaan bahasa daerah dan termasuk Bahasa Indonesia. Karena itu, pihak berwenang, dalam hal ini Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) harus bisa tegas untuk menegakkan aturan, khususnya UU Penyiaran No 32 Tahun 2002 Pasal Pasal 36 ayat 1 dan 2 tentang penggunaan Bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing oleh lembaga penyiaran.

Para pemangku kepentingan seperti pemerintah, tokoh kebudayaan atau budayawan, lembaga pendidikan dan pihak-pihak lain perlu berikhtisar untuk memikirkan strategi kebudayaan agar bahasa daerah sebagai kekayaaan kita bisa terus bertahan. Tantangannya adalah bagaimana kita (misalnya) sebagai orang Jawa bisa menjadi 100 persen orang Jawa yang mampu menggunakan Bahasa Jawa dan bisa menjadi 100 persen orang Indonesia yang mampu menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar.

Bagi orang tua, mengajarkan anak untuk bisa menggunakan bahasa daerah menjadi persoalan yang tidak ringan, di tengah serbuan dan gempuran nilai-nilai kosmopolitan—termasuk budaya dan bahasa lain—yang sangat masif menginvasi ruang-ruang privat kita. Namun, jika bukan kita yang memulai, lantas siapa lagi? ***

Yohanes Widodo, dosen program studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta