Pemimpin Perempuan, Sebuah Praksis Emansipatoris

Bernas Jogja, Selasa 12 November 2013

Oleh Dhyah Ayu Retno Widyastuti

“Think manager, think male.”  (Schein, 1975).

Sebuah jargon yang bisa dibilang sudah tidak relevan dalam kondisi saat ini. Kepemimpinan dipandang sebagai domain maskulin terutama bagi individu yang masih memiliki pandangan terhadap peran kepemimpinan atas dasar gender tradisional (Eagly & Carli, 2007). Namun realitas ini sudah mengalami perubahan. Kini, perempuan mulai dihadapkan pada realitas  bijak di mana  mereka berani tampil di wilayah publik sebagai seorang pemimpin.

Pemimpin perempuan sudah mulai banyak dijumpai dalam berbagai ranah kehidupan. Sebagai kepala pemerintahan mulai dari kepala negara, kepala daerah, hingga pemimpin lingkungan lokal. Dalam arena yang berbeda, di dunia pendidikan mulai dari sekolah dasar, sekolah lanjutan, sekolah menengah, hingga perguruan tinggi. Mereka telah mengambil posisi menjadi penentu arah perjalanan ke mana sebuah sistem akan melangkah. Inilah realitas yang mengawali isu kepemimpinan perempuan menjadi sebuah kajian yang sungguh menarik dikupas.

Gambaran nyata di arena politik berawal pada peran Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri atau lebih dikenal Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden Republik Indonesia  periode 2001-2004. Selanjutnya posisi yang hingga sekarang masih diperankan  perempuan sebagai pucuk pimpinan pemerintah adalah Wali Kota Surabaya untuk periode 2010-2015 yang diemban  Tri Rismaharani. Ini merupakan pemimpin kepala daerah perempuan pertama kalinya di Surabaya. Selama periode kepemimpinannya ia memperoleh nominasi wali kota terbaik di dunia, 2012 World Mayor Prize, yang digelar oleh The City Mayors Foundation karena prestasinya dalam menata kota Surabaya (www.merdeka.com).

Gambaran lain, di Sulawesi Utara, area pemerintahan telah banyak pula melibatkan partisipasi perempuan. Sebagai contoh kedudukan Bupati Minahasa Tenggara dipegang  Telly Tjanggung, Bupati Minahasa Selatan Christiany Tetty Paruntu, dan hadirnya Tatong Bara sebagai Wali Kota Kotamobagu periode 2013-2018 (www.tribunnews.com).

Dalam dunia pendidikan, perempuan sebagai pemangku kebijakan, pemimpin tertinggi di perguruan tinggi. Ini terbukti dengan terpilihnya Rochana Widyastutieningrum sebagai Rektor Institut Seni Indonesia Solo periode 2013-2017. Begitu juga pemimpin Universitas Terbuka, Tian Belawati, perempuan yang telah dua kali terpilih sebagai Rektor Universitas Terbuka, mengemban tugas  periode 2013- 2017.

Meskipun secara kuantitas masih jauh lebih kecil dibandingkan laki-laki, peran perempuan yang semakin banyak di area publik ini layak menjadi role model yang dikagumi, dihargai, diteladani, dan tentunya memberi motivasi maupun semangat bagi banyak perempuan. Realitas  ini mampu menjadi faktor pendukung yang membuka pintu peluang bagi perempuan lain  mengembangkan potensi kepemimpinannya.

Menjadi pemimpin adalah sebuah tanggung jawab yang mempunyai implikasi tidak ringan.  Dalam kenyataannya, seorang pemimpin dapat mempengaruhi iklim organisasi baik dari segi kualitas kehidupan kerja, kepuasan kerja hingga memainkan peran kritis dalam membantu organisasi, lembaga, dalam mencapai tujuannya. Kepemimpinan merupakan bentuk dominasi yang didasari kemampuan pribadi yang sanggup mendorong atau mengajak orang lain berbuat sesuatu berdasarkan penerimaan atas kelompoknya dan memiliki keahliah khusus yang tepat bagi situasi khusus (Kartono, 1983). Kemajuan peran perempuan di wilayah publik tentunya bukan atas dasar belas kasihan namun potensi, kemampuan, dan perjuangan  tanpa adanya perbedaan dan diskriminasi gender (Tan, 1991). Kompetensi pemimpin bukan pada kekuatan fisik maupun orang yang berkuasa di baliknya, namun kecerdasan pemikiran dalam sikap kritisnya.

Hal inipun dilalui oleh gambaran sosok pemimpin perempuan. Megawati Soekarnoputri menempuh perjalanan panjang untuk bisa menjadi orang nomor satu di Indonesia. Awal perjalanannya berangkat dari keaktifan di bidang politik. Dunia politik sudah ia tekuni sejak masih berada di bangku pendidikan perguruan tinggi hingga memperoleh gelar ketua umum salah satu partai besar di negeri Indonesia. Selanjutnya ia dipercaya menduduki posisi wakil presiden sebelum akhirnya menggantikan Abdurrahman Wahid sebagai Periden RI kelima. Gambaran ini hanya satu dari sekian perjuangan yang dilalui pemimpin perempuan. Baik kursi pemerintahan maupun pimpinan akademisi yang kini diduduki perempuan lainnya juga merupakan hasil perjuangan yang mereka lalui dengan dinamika berbeda antara satu dengan lainnya.

Perjuangan perempuan berkiprah di wilayah publik  bahkan diperteguh oleh faktor budaya di masyarakat. Sebagai wilayah yang sebagian besar masyarakat menganut patrilinealisme, kecenderungan perempuan diposisikan sebagai orang yang secara sosial budaya berbeda dengan laki-laki. Dalam wilayah yang menganut budaya ini, perempuan menghadapi kesulitan lebih besar dalam memperoleh posisi kepemimpinan (Eagly & Carli, 2007). Baik diskriminasi, stereotype, prasangka, dan politik organisasi semuanya masih menjadi muara terjadinya hambatan bagi kemajuan perempuan. Perempuan diposisikan sebagai sosok yang identik dengan kelembutan dan dianggap tidak rasional. Implikasinya, kecenderungan perempuan merasa bahwa sesuai dengan kodratnya justru itulah yang dianggap wajar. Hingga akhirnya berhenti pada satu keputusan bahwa perempuan enggan menjadi pemimpin dan dominasi pemimpin laki-laki selalu mewarnai kehidupan masyarakat.

Praksis Emansipatoris Perempuan

Selanjutnya menyoal kepemimpinan perempuan menjadi salah satu potret menarik dalam lingkup teori kritis. Grundy (1993) menyoroti  isu kepemimpinan perempuan salah satunya dari sudut pandang praksis emansipatori. Pandangan yang melihat realitas secara praksis  membangun komitmen terhadap berbagai problem sosial kemanusiaan. Peran perempuan dalam area publik merupakan bentuk aksi sosial ke arah praksis pembebasan manusia. Dalam  kajian ini, kepemimpinan perempuan dipandang sebagai sebuah gerakan yang mampu membawa perempuan ke luar dari arena marginalisasi  di wilayah publik. Pemimpin perempuan sebagai perwakilan di wilayah publik mampu menyuarakan aspirasi yang sesuai dan peka terhadap kebutuhan perempuan.

Dalam pandangan praksis emansipatoris, lebih jauh Grundy (1993) memberikan ide bahwa guna memperbaiki hubungan di dalam kekuasaan maka dilakukan dengan membangun komunikasi simetris. Terlebih ketika dihadapkan dalam persoalan yang melibatkan komunikasi berbasis gender dan status, sebuah relasi yang dibangun secara sosial sebagai bentukan masyarakat. Melalui komunikasi simetris dalam kekuasaan, memungkinkan terjadinya hubungan timbal balik efektif untuk dijalankan. Berpijak pada pendapat Grundy, idealnya gaya kepemimpinan transformasional diterapkan untuk mencapai tujuan bersama.  Gaya kepemimpinan ini berupaya mentransformasikan nilai-nilai yang dianut oleh bawahan  mendukung visi dan tujuan organisasi (Stone, 2004). Harapannya, melalui transformasi nilai-nilai ini, hubungan baik antar anggota organisasi dapat dibangun sehingga muncul iklim saling percaya di antara anggota organisasi.

Tuntutan selanjutnya adalah bagaimana sosok perempuan  mampu mewujudkan praksis emansipatoris demi membawa perubahan pada kehidupan perempuan? Bila merujuk pada gaya kepemimpinan yang ideal,  kriteria pemimpin perempuan yang dikehendaki diharapkan memiliki berbagai potensi. Pemimpin perempuan mampu memberi inspirasi dan motivasi bagi bawahannya untuk selalu kreatif dan inovatif. Selain itu, ia mampu memahami dan menghargai bawahan berdasarkan kebutuhan serta memperhatikan keinginan berprestasi dan berkembang para bawahan.

*Dhyah Ayu Retno Widyastuti, Dosen Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP UAJY

 

Search

Pengumuman