Bernas Jogja, Selasa 2 Oktober 2012
Oleh Setio Budi HH
Momentum hari ulang tahun ke-67 Tentara Nasional Indonesia (TNI), 5 Oktober 2012 patut menjadi catatan sejarah bagi bangsa Indonesia. Konsep atau kebijakan minimun essential force yang dicanangkan Dephan/TNI sudah mulai membuahkan hasil membanggakan melalui penambahan peralatan tempur (semua matra), termasuk mulai sibuknya industri strategis dalam menghasilkan berbagai karya peralatan militer. Setidaknya efek detterence mulai terasa dalam konteks hubungan internasional. Sementara di dalam negeri ulasan, komentar yang menunjukkan rasa mulai percaya diri dan bangga atas bangkitnya kekuatan militer nampak melampaui kritik tentang pembelian peralatan tempur bekas.
Konstelasi politik dan militer
Dalam skala politik-militer, apa pelajaran penting yang dapat dipetik dari “revolusi Arab Spring”, yaitu bahwa rejim yang tidak demokratik, tidak mengindahkan lagi suara rakyat akan tumbang atau ditumbangkan. Kedua, siapa yang diuntungkan dalam pergolakan tersebut? Perlu analisis yang tajam dan kritis, apakah kemenangan civil society atau oposisi menunjukkan kekuatan people power yang sesungguhnya atau hanya sebuah pergulatan kecil dari suatu agenda besar kekuatan ekonomi politik dan militer global? Yang jelas rakyat Tunisia, Libia, Mesir, Sudan harus memulai lagi membangun negeri mereka, karena sebagian kebesaran mereka telah runtuh. Kekuatan militer Libia dan Mesir yang dulu dianggap cukup diperhitungkan di kawasan, saat ini kehilangan detterencenya.
Dalam konteks lain Irak, Afganistan adalah gambaran kekalahan politik regional versus global (Barat). Iran sedang “menunggu” waktu. Isu tatanan dunia baru telah bergerak secara signifikan. Gerakan dilakukan melalui berbagai lini, ekonomi, politik, diplomasi, grass root, kebudayaan, intelijen, militer, dan komunikasi. Melihat lagi pelajaran dari Irak, Afganistan, Arab Spring dan Iran, upaya penundukan dan pendudukan diawali dengan aspek komunikasi, baik melalui saluran komunikasi internasional, diplomasi, media, perang informasi, media sosial. Pengagendaan isu, penggalangan massa, pengelabuhan informasi, perang psikologis adalah operasi dasar non-militer untuk penjajagan, defensif dan terutama ofensif dalam memenangkan pertempuran dan peperangan tersebut. Penggunaan media massa konvensional media cetak, radio, televisi dan media sosial (termasuk ICT) menjadi semacam persenjataan baru bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
Bagi Indonesia, hibah radar, 24 pesawat F 16, tawaran helikopter Apache dari Amerika, hibah Hercules dari Australia, dengan mudah dibaca sebagai bagian dari operasi diplomatik dan militer untuk membendung pengaruh kuat RRC. Eksalasi konflik di laut China Selatan dan Utara, melibatkan sebagian negara-negara ASEAN, Taiwan, Jepang dan kepentingan Barat berhadapan langsung dengan China. Sementara konflik Korea Utara dan Selatan juga melibatkan China, Jepang dan Amerika Serikat. Di sisi lain pelibatan tersebut justru membuat posisi Indonesia sangat rentan karena, pertama, bantuan militer, ekonomi dan sosial yang diterima tidak selalu signifikan dengan penguatan kapasitas dan kepentingan nasional.
Kedua, secara geografis, geopolitik dan spektrum kemiliteran, Indonesia dikepung oleh pakta pertahanan Malaysia, Singapura, Brunei, dan Anzac (Australia dan Selandia Baru), di bawah aliansi Inggris Raya, ditambah dengan penempatan pasukan Amerika secara bertahap di Darwin Australia. Ketiga, secara parsial maupun sistemik gesekan di perbatasan dengan Malaysia, Singapura, Australia, Timor Leste, dan dalam skala yang lebih kecil Papua Nugini, Filipina, serta sekitar Natuna dan Laut China Selatan masih terus terjadi. Ditambah dengan berbagai kasus yang terus menggerogoti sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara, beberapa di antaranya semakin tingginya penyelundupan narkoba, human trafficking, produk dumping, aliran dana pasar modal hot money, gempuran budaya dan gaya hidup. Demikian pula gencarnya infiltrasi paham dari perspektif kanan sampai kiri, termasuk paham yang mengedepankan kekerasan, konflik sosial, penguasaan sumber daya alam oleh asing (termasuk air), perilaku impor yang berpengaruh langsung pada ekonomi rakyat meliputi buah-buahan, pangan, garam, sandang, hasil laut, serta banyaknya UU dan peraturan yang berpihak kepada kepentingan global.
Perang asimetris
Seperti kita ketahui, dalam khasanah literatur dan pengalaman lapangan dunia militer dikenal ada dua situasi perang, yaitu perang simetris, yang merujuk pada konteks kemiliteran dan perang asimetris, yang melibatkan berbagai cara tanpa persenjataan atau soft war. Dalam era globalisasi sekarang ini, merujuk kepada kepentingan bangsa masing-masing, peperangan tersebut, khususnya asimetris terus berlangsung dengan berbagai cara, melalui perang informasi, budaya, media, termasuk media online dan ICT, serta berbagai cara yang bisa merusak sendi kehidupan bernegara.
Apabila kondisi seperti sekarang dan masa depan tidak menjadi perhatian seluruh komponen bangsa Indonesia potensi kehancuran kedaulatan bangsa ada di depan mata. Pengaruh luar, baik barat dan timur atas budaya, isi media dan berbagai konflik anak bangsa yang tidak produktif memiliki potensi ancaman, terutama ketika rasionalitas dan spirit kebangsaan menipis. Apabila ketergantungan kepada pangan, energi, air, teknologi dan juga kerentanan politik internasional semakin kuat, menjadi ironi ketika bangsa lain dengan sangat mudah menjajah Indonesia dan kita bahkan tidak merasa terjajah, tetapi menikmati hal tersebut sebagai suatu peristiwa biasa, terjadi setiap hari.
Komunikasi dan Ketahanan Nasional
Sun Tzu mengajarkan tentang pentingnya pengendalian informasi dalam situasi perang, dengan tujuan memenangkan peperangan tanpa pertempuran yang menimbulkan korban besar. Melihat berbagai dinamika ekonomi, sosial, politik, budaya dan hankam saat ini, upaya menyiapkan ketahanan nasional dari berbagai lini sudah saatnya kembali diperkuat dan tidak hanya didefinisikan hanya tugas pemerintah, namun tugas seluruh komponen bangsa. Persiapan mendasar adalah mengembangkan kekritisan atas potensi ancaman terhadap keamanan nasional karena menyadari bahwa negara lain memiliki kepentingan menguasai Indonesia dalam berbagai lini. Pemikiran ini perlu juga dibalik karena Indonesia berkepentingan memiliki pengaruh kuat terhadap bangsa lain, sebagai bagian dari keamanan nasional dengan melakukan langkah strategis. Misalnya pemikiran ulang paradigma pertahanan nasional dari murni defensive ke pre-emtive (strike), sebagaimana dilakukan beberapa negara, termasuk kebijakan pertahanan yang dikembangkan Australia yang digagas sejak jaman perdana menteri Howard.
Sistem komunikasi dan informasi secara makro maupun mikro perlu dikembangkan platformnya secara mendasar, terutama pada landasan kepentingan nasional yang sama. Ini dibedakan dengan sistem komunikasi authoritarian, karena ada beberapa hal yang harus disepakati supaya media massa, media sosial dan berbagai infrastruktur informasi dan komunikasi tidak justru melemahkan spirit nasionalisme dan aspek ketahanan nasional atas nama kebebasan komunikasi. Kekritisan, kapasitas, sistem dan skill seluruh lini komponen bangsa perlu diperkuat, agar tidak menjadi alat bagi kepentingan global.
*Setio Budi HH, dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta