Bernas Jogja, Selasa 25 Juni 2013
Oleh Nobertus Ribut Santoso
Hanya dalam hitungan beberapa menit, kita dijejali iklan politik terlebih lagi menjelang pemilu 2014 lebih kurang 10 bulan lagi. Tidak hanya itu, iklan politik di baliho dan iklan politik dalam bentuk lain memenuhi mata di sepanjang jalan yang kita lewati. Iklan-iklan tersebut tentunya mengganggu pemandangan. Ada beberapa iklan politik yang letaknya serampangan, mengganggu estetika, bahkan ada yang menutupi rambu-rambu penting di jalan. Sekilas jika kita amati iklan politik tersebut, seperti tidak ada bedanya dengan iklan produk yang menawarkan barang atau jasa, mendorong konsumen membeli produk tersebut.
Jauh-jauh hari sebelum Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan jumlah peserta Pemilihan Umum 2014, sudah ada beberapa partai politik yang dengan gencarnya mengiklankan diri di berbagai media. Semenjak orde reformasi dan kebebasan media, praktik politik pencitraan (political branding) melalui iklan di media semakin semarak.
Mahalnya Iklan Politik
Sangat disayangkan, kebanyakan praktik politik pencitraan tatarannya hanya sampai di iklan politik. Kalau kita berbicara tentang branding, kaitannya adalah tentang usaha membangun citra positif di mata publik. Iklan politik belum cukup efektif membangun citra positif di mata publik dan citra yang dihasilkan hanya bersifat sementara, apalagi biaya yang dikeluarkan untuk memasang iklan sangat mahal, yang akan menguras biaya operasional parpol.
Menurut AGB Nielsen, pada pemilu 2009 iklan pemerintah dan politik menduduki urutan kedua dari total berbagai belanja iklan di berbagai sektor dengan nilai Rp3,6 triliun. Jika kita menghitung prediksi belanja iklan parpol tahun 2014 dengan pijakan belanja iklan tahun 2009, inflasi (kenaikan harga) yang terjadi rata-rata 5,5% setiap tahun, dengan asumsi parpol melakukan intensitas kampanye yang sama seperti pada pemilu 2009, maka pengeluaran belanja iklan pada Pemilu 2014 diperkirakan nilainya naik 27,5% atau sebesar Rp 4,59 triliun. Hal ini belum memperhitungkan ulasan berbagai media dan lembaga ekonomi bahwa kelompok kaum menengah kita selama beberapa tahun belakangan ini terus mengalami pertumbuhan kekayaan yang signifikan. Apabila hal tersebut digabungkan dalam skenario perhitungan ini, maka kita bisa menduga besarnya belanja iklan politik.
Parpol yang cerdas seharusnya bisa melakukan praktik politik pencitraan dengan cerdas pula. Dengan politik pencitraan cerdas, sebuah parpol bisa menghemat biaya operasional cukup besar. Parpol dapat melakukan kebijakan realokasi belanja yang awalnya diarahkan untuk belanja iklan politik yang lebih berdampak pencitraan tanpa langkah konkrit dengan menginvestasikannya dalam pelatihan dan pengembangan kader. Juga melakukan advokasi masalah-masalah masyarakat di daerah, program sosial penanaman pohon di kota, dan pengobatan gratis di pinggiran kota dan desa. Bahkan bisa dilakukan dengan membuka forum-forum dialog publik yang memberdayakan aspirasi masyarakat.
Praktik politik pencitraan bisa dilakukan sejak dini. Sebuah parpol seharusnya punya sistem kaderisasi yang baik sehingga melahirkan tokoh politik yang kuat di masyarakat. Karakter yang kuat, kinerja yang baik, track record prestasi, dan mempunyai tujuan berpolitik yang jelas serta memiliki integritas menjadi modal utama dalam membangun personal branding. Tokoh utama, anggota parlemen, fungsionaris, kader maupun simpatisan sehingga publik yang tertarik dengan personal branding secara otomatis akan mengasosiasikan figur tersebut dengan parpol.
Proses politik pencitraan bukan sekedar memoles wajah seseorang supaya karakternya semakin menguat, tetapi harus dibarengi dengan meningkatkan kualitas tokoh tersebut. Inilah sebenarnya pekerjaan rumah bagi parpol. Akan tetapi, masih ada beberapa parpol yang lebih senang memakai jalan pintas dengan memakai kepopuleran artis sebagai tokoh. Sebenarnya tidak ada yang salah, seorang artis masuk dalam kancah politik karena itu merupakan hak setiap orang dan justru akan memperkaya keanekaragaman diskusi dalam proses politik. Hal yang paling penting adalah mereka mempunyai kemampuan di dalam dunia politik. Tidak ada gunanya jika kepopuleran tanpa diimbangi dengan kualitas.
Tokoh politik juga harus memiliki kepribadian yang hangat dan bisa mendekatkan dirinya dengan publik, tidak hanya dekat ketika menjelang pemilu, hendaknya kedekatan ini dibangun sejak dini sehingga tercipta kedekatan emosional. Tokoh tersebut sebaiknya juga bisa menjadi pendengar yang baik, yang mampu mendengarkan segala aspirasi dari publik. Tidak hanya di hadapan publik, tokoh tersebut juga harus mampu menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan oleh media dengan lugas.
Kesuksesan “blusukan” tokoh politik ke tempat-tempat kumuh akan menghasilkan citra yang bagus kalau itu dilakukan dari hati, tidak dibuat-buat, bukan basa-basi, dan bukan sekedar pencitraan semata. Publik sudah pintar dan bisa menilai mana yang benar-benar dilakukan karena memang kepeduliannya atau hanya sekedar pencitraan semata yang pemberitaannya manis di media.
Media dan Politik Pencitraan
Pemanfaatan media yang tepat juga akan membantu meningkatkan branding parpol. Perkembangan media yang cukup pesat seharusnya bisa dimanfaatkan dengan baik dalam melakukan praktik politik pencitraan. Maraknya pengunaan internet seharusnya bisa dilirik dalam praktik politik pencitraan karena sifatnya yang sangat cepat dalam menyebarkan informasi dan biaya yang dikeluarkan jauh lebih murah dibandingkan media televisi.
Para tokoh politik dan parpol ternyata sudah mulai menyadari akan pentingnya media sosial untuk mendekatkan diri ke publik. Tokoh politik yang sukses mendekatkan dirinya ke publik melalui media sosial adalah Obama. Tidak hanya di media sosial Facebook, dia juga berkomunikasi ke publiknya melalui Twitter. Pengunaan media sosial ini sangat efektif karena media sosial bisa mengejar atensi publik secara luas. Tidak hanya anak muda yang menjadi target publiknya, tetapi masyarakat secara luas juga mengakses media sosial tersebut dikarenakan kemudahan akses internet dan lahirnya gadget yang memudahkan kita untuk online.
Salah satu media sosial yang banyak dipakai oleh tokoh politik untuk mendekatkan diri ke publiknya adalah Twitter. Twitter dipandang sangat efektif dalam mendekatkan tokoh politik dengan publiknya, khususnya anak muda. Dari Twitter tersebut, bisa dilihat seberapa banyak publik yang menaruh perhatian terhadap tokoh tersebut dari seberapa banyak follower yang dimiliki tokoh tersebut. Semakin banyak jumlah follower-nya, artinya semakin banyak publik yang menaruh perhatian terhadap tokoh tersebut dan semakin banyak yang melakukan mention tokoh tersebut, artinya semakin banyak pula publik yang ingin berkomunikasi dengan tokoh tersebut. Tweet yang ditulis tokoh politik mampu menunjukkan opininya terkait isu-isu politik sehingga follower-nya bisa mengetahui bagaimana stand politiknya terhadap suatu isu atau keadaan. Dari sinilah akan terjadi komunikasi dua arah antara tokoh politik tersebut dengan para follower-nya. Jadi, tak heran kalau akhirnya SBY juga mempunyai akun Twitter seperti yang sudah lama dilakukan oleh Obama guna membangun komunikasi dengan para follower-nya.
Pemanfaatan Twitter sebagai media mendekatkan tokoh politik dengan publiknya memang cara baik dan paling murah. Masalahnya adalah bagaimana media sosial ini bisa dikelola dengan baik. Dalam melakukan tweet pesan-pesan politik, sebaiknya dilakukan dengan kuantitas yang normal karena kalau terlalu banyak melakukan tweet per hari, akan mengganggu follower-nya, apalagi kualitas pesan politik tersebut rendah. Jadi, pemanfaatan Twitter sebagai media dalam praktik politik pencitraan merupakan salah satu solusi cerdas dan murah sehingga dapat menghemat anggaran parpol.
*Nobertus Ribut Santoso, dosen Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta